TEMPO.CO, Jakarta - Seorang penulis yang selamat dari peristiwa Holocaust, Elie Wiesel, meninggal pada usia 87. Kabar ini disampaikan juru bicara Peringatan Holocaust Israel, Yad Vashem, Sabtu, 2 Juli 2016. Elie dikenal sebagai seorang penulis yang berjuang untuk perdamaian dan hak asasi manusia.
Wiesel, yang memenangi Nobel Perdamaian pada 1986, menuliskan pengalaman keluarganya dikirim ke kamp-kamp konsentrasi Nazi dalam buku pertamanya berjudul Night. Buku ini diterbitkan di Prancis pada 1958. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa dan terjual jutaan kopi.
Wiesel, yang lahir di Rumania, berusia 15 tahun saat dikirim ke kamp konsentrasi Auschwitz di Polandia beserta keluarganya pada 1944. Kemudian ia pindah ke kamp konsentrasi Buchenwald pada 1945. Dari keluarganya, hanya dia dan dua saudara perempuannya yang selamat.
Pemenang Nobel Perdamaian ini menulis secara ekstensif tentang kengerian yang dia dan orang lain alami di kamp konsentrasi Nazi. Wiesel mengatakan ia tahu harus menulis. Namun, pada beberapa titik, ia takut kata-kata akan menghindarinya. “Saya tidak yakin dengan cara bahwa saya menemukan mereka (kata-kata),” kata Wiesel.
Wiesel melanjutkan, entah bagaimana orang-orang Nazi berhasil membuat para korban sulit menemukan bahasa yang tepat untuk mengatakan apa yang telah mereka lakukan kepada para korban. “Karena tidak ada kata-kata untuk itu,” ujarnya.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji Wiesel sebagai ahli kata-kata. Bagi Netanyahu, Wiesel telah memberikan ekspresi dan buku-buku menarik tentang kemenangan semangat manusia di atas kekejaman dan kejahatan melalui kepribadian yang luar biasa. “Saya merasa terhormat mengetahui Elie dan belajar banyak dari dia.”
Wiesel juga merupakan seorang profesor di City College of New York dari tahun 1972 sampai ia pergi empat tahun kemudian, dan menjadi profesor humaniora di Boston University. Sebelum itu, Wiesel adalah seorang wartawan di Paris, kemudian di New York.
Direktur Elie Wiesel Pusat Studi Yahudi di Boston University Michael Zank mengatakan pihaknya merasa kehilangan seorang guru. “Boston University kehilangan seorang guru ikonik yang membawa intensitas luar biasa untuk setiap pertemuan dengan siswa dan kolega," tulis Zank.
CNN | DIKO OKTARA