TEMPO.CO, London - Inggris dipastikan keluar dari Uni Eropa setelah Britain Exit atau Brexit mendapat dukungan 52 persen suara dalam referendum yang digelar Kamis, 24 Juni 2016. Kemenangan Brexit dianggap bisa mendorong gerakan untuk menggelar referendum serupa di beberapa negara lain yang tergabung dalam Uni Eropa.
Pemimpin partai garis keras di Prancis, Front Nasional Prancis, Marine Le Pen, menulis kicauan di akun Twitter-nya, “Kemenangan untuk kebebasan.” Ia menambahkan, Prancis memiliki hak untuk memilih antara bergabung atau keluar dari Uni Eropa. “Prancis memiliki seribu alasan yang lebih banyak daripada Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa,” kata Le Pen di Vienna, Jumat, 17 Juni 2016.
Perempuan yang hendak mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2017 ini berujar, Uni Eropa telah gagal mencegah masuknya penyelundup, teroris, dan migran ke Eropa. Uni Eropa harus bertanggung jawab atas angka pengangguran yang tinggi.
Tak hanya Prancis, warga Belanda juga disebut menuntut diadakannya referendum. Data yang dikutip BBC menyatakan 54 persen warga Belanda menginginkan referendum. Satu dari sejumlah politikus yang mendukung referendum di Belanda adalah Geert Wilders, pemimpin partai sayap kanan, Partai Kebebasan Belanda.
“Jika saya menjadi perdana menteri, akan ada referendum di Belanda untuk meninggalkan Uni Eropa. Biarkan rakyat Belanda yang menentukan,” ucap pria yang diunggulkan dalam pemilihan umum Maret 2017 tersebut.
Ketidakpuasan terhadap Uni Eropa di Belanda diakui Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, yang berlatar belakang Partai Liberal. "Ketidakpuasan yang kita lihat di Inggris juga ada di negara-negara lain, termasuk negara saya sendiri," tutur Rutte di Den Haag, seperti dikutip Reuters. "Ini harus menjadi stimulus untuk reformasi lebih lanjut, kesejahteraan yang lebih."
BBC | REUTERS | ARDITO RAMADHAN | PRU