TEMPO.CO, Jenewa - Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) menyatakan 65,3 juta orang mengungsi ke seluruh penjuru dunia selama 2015. Sebagian besar pengungsi itu kabur dari perang tapi harus berhadapan dengan permasalahan hukum serta xenofobia (ketakutan atau penolakan terhadap orang dari negara lain) sesampainya di perbatasan.
Jumlah ini meningkat dari angka 59,5 juta pengungsi pada 2014 dan meningkat 50 persen dalam jangka lima tahun terakhir. Itu berarti satu dari setiap 113 orang di bumi kini merupakan pengungsi atau imigran.
Perang di Suriah, Afganistan, Burundi, dan Sudan Selatan berdampak pada pengungsian massal yang mencapai angka 21,3 juta orang, setengahnya adalah anak-anak. Rekor tertinggi pengungsi itu muncul dalam laporan UNHCR “Global Trends” yang dirilis dalam rangka Hari Pengungsi Dunia.
“Para pengungsi dan imigran menyeberangi Laut Mediterania dan tiba di pesisir Eropa membawa pesan kepada kita bahwa jika Anda tidak menyelesaikan masalah, masalah akan datang,” ungkap Komisioner UNHCR Fillipo Grandi, Sabtu, 18 Juni 2016.
Grandi mengatakan butuh langkah politik untuk menghentikan konflik yang dapat menjadi langkah pencegahan terbesar untuk menanggulangi jumlah pengungsi yang semakin meningkat. "Sangat menyedihkan butuh waktu lama bagi penduduk negara industri untuk memahami hal itu,” lanjutnya.
Pada tahun lalu juga tercatat rekor dua juta pengajuan izin oleh para imigran kepada sejumlah negara industri. Sekitar 100 ribu di antaranya berasal dari anak-anak yang tidak didampingi atau terpisah dari orang tua. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat dari 2014 dan merupakan angka tertinggi di sejarah.
Jerman menempati posisi pertama dengan 441.990 orang imigran, sepertiganya datang dari Suriah. Amerika Serikat menyusul dengan 172.700 orang imigran. Banyak dari mereka terlibat kasus narkoba dan kekerasan geng di Meksiko dan Amerika Tengah.
Negara berkembang masih menjadi penampung 86 persen pengungsi dunia. Turki telah menampung 2,5 juta pengungsi Suriah. Posisi kedua dan ketiga ditempati Pakistan dan Libanon.
Menurut Grandi, para imigran semakin menghadapi kesulitan dan sentimen anti-orang asing. Masalah xenofobia yang meningkat menjadi fitur utama yang membedakan permasalahan dunia saat ini.
“Halangan terjadi di mana-mana dan bukan hanya soal perbatasan. Namun mengenai pembatasan legislatif yang terus muncul, termasuk di negara industri yang telah lama menjadi pembela hak asasi manusia, khususnya terkait dengan masalah imigran,” katanya.
Setelah negara-negara Balkan menutup perbatasan, Turki dan Uni Eropa (EU) menandatangani perjanjian yang membawa jutaan pengungsi serta imigran datang ke Eropa pada 2015. “Tidak ada rencana B untuk Eropa, Eropa akan terus menerima pengungsi dan imigran. Semua harus berbagi tanggung jawab sekarang.”
REUTERS | IDKE DIBRAMANTY | TJANDRA DEWI