TEMPO.CO, Nabi Saleh, Tepi Barat- "Kamera saya senjata saya. Kamera lebih berdaya ketimbang senjata. Saya dapat mengirimkan pesan saya kepada orang-orang kecil dan mereka dapat mengirimkannya ke orang lain."
Kalimat itu meluncur dari seorang gadis mungil bernama Janna Jihad Ayyad. Janna yang bulan ini tepat berusia 10 tahun menikmati profesinya sebagai jurnalis. Ia boleh jadi merupakan jurnalis termuda di dunia.
Sebagai seorang jurnalis, Janna yang tinggal di desa Nabi Saleh di Tepi Barat, wilayah pendudukan Israel, meliput dan merekam peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Kematian dua saudaranya di Nabi Saleh menjadi pemicu Janna semakin menekuni jurnalistik. Sepupunya, Mustafa Tamimi tewas terkena tembakan gas. Pamannya, Rushdie Tamimi tewas setelah peluru bersarang di ginjalnya.
Setelah peristiwa itu, Janna meluaskan area liputannya dengan melakukan perjalanan ke tempat tinggal saudaranya. Menggunakan iPhone milik ibunya dia membuat video tentang situasi di Jerusalem, Hebron, Nablus, dan Yordania.
Videonya menunjukkan segala hal tentang orang-orang yang ditahan di tempat pemeriksaan, saat berunjuk rasa, hingga kekerasan yang dialami anak-anak Palestina.
Sebelum menjadi jurnalis, Janna bersama anak-anak di tempat tinggalnya rajin mengikuti demonstrasi melawan pendudukan Israel. Janna membuat video pertamanya tentang berbagai peristiwa yang terjadi di desanya. Usianya saat itu baru tujuh tahun.
"Tak banyak jurnalis mengirim pesan kami warga Palestina ke seluruh dunia. Jadi, saya pikir kenapa bukan saya yang mengirim pesan... dan menunjukkan kepada mereka apa yang sedang terjadi di desa saya," kata Janna seperti dikutip dari Al Jazeera, 28 April 2016.
Janna juga terinspirasi dari pamannya, Bilal Tamimi, seorang photografer yang mendokumentasikan kekerasan tentara Israel di Nabi Saleh.
"Saya berbicara tentang apa yang sedang terjadi. Saya melihat pendudukan, tentara, senjata cannons, dan polisi. Mereka melakukan banyak hal untuk memmbuat kami keluar dari tanah kami," kata Janna.
Janna juga aktif di media sosial. Ia memiliki akun Facebook yang jumlah pengikutnya lebih dari 22 ribu pengikut. Dia mengunggah sejumlah video mengenai keikutsertaannya dalam aksi demo menentang tentara Israel. Reportasenya menggunakan bahasa Arab dan Inggris.
Aktivitas Janna sebagai jurnalis membuat ibunya, Nawal Tamimi, bangga terhadap puterinya. "Saya bangga pada anak perempuan saya karena sejak kecil dia berbicara tentang pesan-pesannya kepada dunia. Dia menyampaikan rasa takutnya, apa yang dia rasakan, dan masalah-masalah tentang di sekolah," kata Nawal.
Di balik rasa bangga, Nawal mengaku sangat khawatir terhadap anak perempuannya itu. "Saya khawatir padanya, ketika tentara datang di tengah malam dan menyiram gas air mata ke rumah kami, dan kami terbangun dalam kepungan asap.. Mereka menyerang ruang kami yang berdemo menentang pendudukan Israel," ujar Nawal.
Semestinya, kata Bilal, sulit menerima pekerjaan yang dijalani keponakannya . "Dia semestinya bermain dan belajar, namun hidup kami tidak untuk membuat pilihan," ujar paman Janna ini.
Menurut Bilal, keluarga mengajarkan anak-anak mereka untuk tidak melakukan kekejaman dan tidak menjadi pendukungnya. Bersamaan itu keluarga juga tidak dapat mengajarkan anak-anak untuk diam. " Mereka harus berjuang untuk kemerdekaan mereka."
Di tengah kekhawatiran orang tua dan keluarga atas profesinya, Janna malah melihat manfaat sebagai jurnalis anak-anak ketimbang jurnalis berusia dewasa. "Tentara hanya menangkap jurnalis-jurnalis besar dan mengambil kamera mereka," ujar Janna.
Saat usianya dewasa, Janna mengungkapkan keinginannya bekerja untuk CNN atau Fox News. Alasan Janna: "Mereka tidak bicara tentang Palestina, dan saya mau membuat liputan-liputan tentang Palestina."
Bagaimana gambarannya tentang dunia yang ideal? Janna menjawab: Saya mau dunia berwarna pink.
AL JAZEERA | MARIA RITA