TEMPO.CO, Washington - Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan kesalahan terbesarnya saat menjadi presiden adalah kurangnya perencanaan setelah jatuhnya pemimpin Libya, Muammar Gaddafi. Ditinggal Gaddafi, Libya terjerumus ke kancah huru-hara dan bergelut dengan ekstremis.
Merenung kembali pemerintahannya dalam wawancara saluran Fox News yang dipublikasikan pada Senin, 11 April 2016, Obama mengungkapkan bahwa kesalahan terburuknya adalah gagal merencanakan tindakan tepat dalam mengintervensi Libya. Juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest, mengatakan penyesalan Obama karena tidak melakukan apa yang dilakukan oleh sekutunya terhadap Libya.
Pada Maret lalu, Obama membuat kritik tajam terhadap Perdana Menteri Inggris David Cameron dan mantan pemimpin Prancis, Nicholas Sarkozy, atas peran mereka dalam kampanye pengeboman di Libya. Obama mengatakan dalam wawancara dengan majalah The Atlantic bahwa Cameron menjadi terganggu dan Sarkozy ingin mempromosikan negaranya ketika intervensi militer ke Libya yang dilakukan NATO pada 2011.
Sejak jatuhnya Gaddafi—yang dibunuh dalam pemberontakan rakyat, Libya terjerumus dalam kondisi hampir anarki (huru-hara tanpa undang-undang), diperintah oleh milisi yang berkuasa, sementara kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mendapat pengaruh dalam negara itu.
Dalam kesempatan yang sama, Obama juga menceritakan saat terbaik kepemimpinannya sebagai presiden yang akan berakhir pada Januari 2017. "Menyelamatkan ekonomi dari resesi besar-besaran adalah pencapaian terbaik saya," kata Obama, seperti dilansir Guardian pada 12 April 2016.
Adapun hari terbaik di Gedung Putih, Obama melanjutkan, adalah melakukan reformasi perawatan kesehatan. Sedangkan hari terburuknya di Gedung Putih ketika berkunjung ke Newtown, Connecticut, setelah seorang pria bersenjata menembak mati 20 anak dan enam staf sekolah dasar pada Desember 2012.
GUARDIAN | YON DEMA