TEMPO.CO, Brussels - Kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menyerang Paris November lalu. Sejak saat itu kaum muslim Eropa, tidak terkecuali Mulsim Belgia telah menjadi sasaran serangan rasis dan stigma ekstremis.
Dan kini, setelah serangan teror melanda Belgia pada Selasa, 22 Maret 2016, muslim di negara itu dilaporkan berada dalam situasi tertekan; takut dan curiga.
Seperti dikutip dari laman USA Today, unjuk rasa anti-muslim terbaru di kota-kota Flemish seperti Antwerp dan Ghent telah muncul dan dikhawatirkan tumbuh dan berkembang ke arah kekerasan. Nabil Riffi, seorang pengacara keturunan Maroko yang tinggal di Antwerp mengatakan: "Ketakutan saya adalah bahwa mereka (teroris) akan menarik lebih banyak orang untuk mereka karena bahaya kini ada di antara kita."
"Saya pikir aksi unjuk rasa Pegida di Flanders berakhir dengan kekerasan sangat mungkin terjadi," tambahnya. Pegida adalah gerakab anti-migran, anti-muslim yang dimulai di Jerman dan telah menyebar ke negara-negara lain di Eropa.
ISIS telah mengaku bertanggung jawab atas peserangan senjata dan bom di bandara Zavantem dan stasiun metro di pusat kota Brussels, menewaskan 34 dan melukai 250 orang.
Dua pelaku bom bunuh diri, kakak beradik Khalid dan Brahim el-Bakraoui, tewas dalam serangan itu dan perburuan besar-besaran sedang dilangsungkan terhadap tersangka ketiga Najim Laachraoui yang tertangkap kamera CCTV saat melarikan diri dari bandara.
Penangkapan dilakukan pada Rabu, tapi media Belgia segera melaporkan bahwa pria yang ditangkap bukan Laachraoui.
USA TODAY | MECHOS DE LAROCHA