TEMPO.CO, Moskow- Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev menegaskan perang dunia akan terjadi jika Amerika Serikat serta sekutunya Arab Saudi dan Turki memilih untuk mengerahkan pasukan militernya ke Suriah daripada mendorong pembicaraan damai di Suriah.
"Sesuai aturan main, semua operasi lapangan akan mengarah pada perang. Lihat apa yang terjadi di Afganistan dan sejumlah negara lain. Saya bahkan tidak menyebut Libya yang bernasib buruk," kata Medvedev seperti dikutip dari Sputnik News, Jumat, 12 Februari 2016.
Medvedev mengatakan, semua pihak seharusnya fokus pada pelaksanaan pembicaraan damai. Melibatkan pemain asing atas nama oposisi Suriah hanya akan memperburuk situasi kekerasan di Suriah.
"Kami mau memastikan setiap orang duduk di meja perundingan, dan kami dapat melakukan, di antara banyak hal, langkah-langkah keras yang dilakukan oleh Rusia, Amerika, dan bahkan Turki, daripada memulai perang dunia," kata Medvedev.
Moskow merupakan pendukung setiap pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad untuk memerangi terorisme. Bekerja sama dengan pasukan militer Suriah, serangan udara Rusia telah berdampak buruk bagi kelompok milisi bersenjata ISIS/IS atau Daesh.
Sebelumnya, Syrian Center for Policy Reseaerch (RCPR) menjelaskan ada 470 ribu jiwa meninggal dalam perang di Suriah. Ini merupakan data terbaru selama 5 tahun terakhir. Data ini jauh lebih tinggi dibanding hasil hitungan PBB yaitu sebanyak 250 ribu orang. PBB menghentikan pengumpulkan data sejak 18 bulan lalu.
Dari 470 korban meninggal akibat perang, sekitar 400 ribu di antaranya meninggal karena kekerasan. Sedangkan sisanya sebanyak 70 ribu orang menjadi korban kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai, obat-obatan, terutama untuk penyakit kronis. Mereka juga kekurangan makanan, air bersih, sanitasi dan perumahan yang layak, terutama bagi mereka yang mengungsi dalam zona konflik.
"Kami menggunakan metode penelitian yang sangat ketat dan kami yakin angka ini," ujar penulis laporan SPCR Rabie Nasser seperti dilansir dari The Guardian, Kamis, 11 Februari 2016.
SPUTNIK NEWS | GUARDIAN | MARIA RITA