TEMPO.CO, Tanzania - Hampir 50 persen wanita di Tanzania diceraikan suaminya setelah berpartisipasi dalam pemilihan umum yang diadakan di negara tersebut baru-baru ini.
Menurut seorang pengacara, yang juga pegiat hak-hak perempuan di Tanzania, mayoritas mereka yang diceraikan suaminya adalah yang menolak mendukung calon pilihan suaminya dalam pemungutan suara.
Koordinator Asosiasi Media Perempuan Tanzania (TAMWA), Mzuri Issa, mengatakan, di Zanzibar, sebuah kepulauan semi-otonom, 47 wanita diceraikan menyusul perbedaan pilihan saat pemilu.
Issa menjelaskan, beberapa wanita tidak mengambil bagian dalam pemilu karena takut bercerai atau karena takut menjadi korban kekerasan. Sedangkan sejumlah wanita lain mengeluh karena mereka dipaksa memberikan suara untuk calon yang tidak mereka dukung.
Kasus perceraian gara-gara beda pilihan dalam pemilu itu dikonfirmasi Asosiasi Pengacara Perempuan Zanzibar (ZFLA), yang juga diketuai Issa. Demikian pula pengadilan Distrik Mwanakerekwe Kadhi di Zanzibar.
"Beberapa wanita tidak diizinkan suami mereka memilih, tapi mereka yang menolak melihat hak mereka diinjak-injak, rata-rata diceraikan atau ditinggalkan suaminya," katanya, seperti yang dilansir Guardian pada Senin, 7 Desember 2015.
Beberapa wanita mengeluh bahwa suami mereka telah menceraikan dan meninggalkan mereka dengan anak-anak karena mereka telah mendukung partai penguasa, Chama Cha Mapinduzi (CCM). Sedangkan suami mereka mendukung partai oposisi utama, Civic Uni Front (CUF).
"Saya pikir itu adalah normal dan bebas dalam demokrasi ketika kita berbeda dalam politik. Namun, sayangnya, suami saya berkeras menceraikan saya. Dia bahkan telah memutuskan tidak akan menafkahi anak-anak kami yang masih kecil," ujar seorang wanita yang enggan disebut identitasnya kepada koran lokal.
Pemilu di Tanzania masih menyisakan sengketa di Zanzibar, yang memiliki penduduk 1,3 juta orang. Komisi pemilihan setempat menganulir suara untuk presiden di pulau itu karena dianggap melakukan "pelanggaran berat".
Namun CUF menolak keputusan komisi pemilihan tersebut dan mengklaim telah memenangi pemilihan. CUF juga menuduh CCM, yang telah memerintah negara di Afrika timur tersebut sejak kemerdekaan pada 1961, melakukan pelanggaran dan kekerasan dalam pemilu pada Oktober lalu.
CUF mendesak dilakukan pemilihan ulang sekitar Februari atau Maret tahun depan.
GUARDIAN | YON DEMA