TEMPO.CO, Kabul - Banyak perempuan Afghanistan menjadi kaum yang paling menderita akibat perang dan penindasan Taliban selama bertahun-tahun. Ditambah tidak adanya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan akses bagi mereka untuk menggali potensi dalam membangun masyarakat.
Namun pada Sabtu 24 Oktober 2015, gerakan ke arah positif untuk perempuan mulai muncul setelah Universitas Kabul meluncurkan program gelar master yang difokuskan pada Studi Gender dan Perempuan. Program ini adalah yang pertama di semua institusi pendidikan di Afghanistan, di mana banyak gadis masih dilarang mengakes pendidikan sama sekali.
"Perempuan di Afghanistan telah mengalami kesulitan, dan kami kehilangan (banyak peluang) untuk anak-anak," kata Farima Naderi, wanita asli Kabul yang bekerja dengan PBB membantu mengatur inisiatif pemberdayaan perempuan. "Program ini akan memperluas kesempatan bagi perempuan Afghanistan," kata dia seperti dikutip dari KPAX.com.
Dua puluh delapan siswa, 18 wanita dan 10 pria, dilaporkan telah terdaftar di kelas pertama dari i program studi dua tahun yang didanai negara. Misi program ini menurut siaran pers Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah "untuk menciptakan sebuah platform para pendukung masa depan kesetaraan gender, menghasilkan penelitian tentang gender, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok-kelompok yang kurang mampu, dan meningkatkan kesadaran tentang laki-laki dan tanggung jawab sosial perempuan."
Pemerintah Korea Selatan, yang Presidennya Park Geun-hye adalah seorang wanita, turut mendanai program ini. "Program ini akan menjadi model universitas yang bisa ditiru di seluruh negeri di masa yang akan datang," kata Menteri Pendidikan Tinggi Afghanistan H.E. Farida Momand.
Sejak 2001, hak-hak perempuan dijamin di bawah konstitusi Afghanistan. Tapi itu tidak mudah diterapkan sebab terdapat lebih banyak umat Islam konservatif di negara itu yang didominasi laki-laki.
Sebuah jajak pendapat Thomson Reuters Foundation pada 2011 menempatkan Afghanistan sebagai negara paling berbahaya bagi perempuan, mengutip sejumlah kekerasan, perawatan kesehatan yang buruk dan kemiskinan yang parah. Dan tampaknya semakin buruk perkembangannya setelah PBB melaporkan bahwa korban perempuan selama 2014 naik 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya, meningkat 20 persen lebih sejak 2012.
Harapannya adalah bahwa program Universitas Kabul terbaru itu akan tumbuh dan menginspirasi inisiatif serupa di tempat lain. Daripada Afghanistan harus bergantung pada ahli atau aktivis perempuan dari luar, negraa dapat menghasilkan para sarjana dan aktivisnya sendiri untuk berbicara tentang pentingnya kaum perempuan dalam kemajuan masyarakat.
KPAX.COM | MECHOS DE LAROCHA