TEMPO.CO, Singapura - Ronan Lim, 12, sedang tertidur di tendanya ketika gempa skala 6 Richter itu menggoyang Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia, sekitar pukul 7.15 pagi, 5 Juni 2015. Ronan tak sendirian. Dia bersama teman-teman sekolahnya dari Tanjong Katong Primary School (TKPS).
"Saya bertanya kepada teman saya, apa yang terjadi," ujarnya. "Lalu kami lari."
Kala lari ketakutan itulah, Ronan mengalami terkilir dan cedera. Seorang pemandu wisata asal Malaysia yang menemukannya membantunya.
Ronan merupakan satu di antara 19 anak-anak sekolah yang selamat dari gempa yang menggoncang Gunung Kinabalu kala itu. Mereka tiba di Bandara Changi, Singapura, Minggu 7 Juni 2015. Kedatangan mereka disambut keluarga dan relasi dengan pelukan dan airmata. Suasana bandara seketika berubah. Bahkan orang-orang yang berada di bandara kala itu, tersentuh dan menitikkan airmata. Hampir seluruh keluarga korban menolak bicara pada media.
Ayah Ronan, 50, Lim Chong Hee, yang berprofesi sebagai dokter mengatakan anaknya menderita sakit di bagian dada. Lim Chong Hee mengaku mengetahui gempa terjadi justru dari Ronan. "Seseorang meminjamkan telepon seluler kepada Ronan, dia langsung menghubungi saya," ujar Lim. "Ini tak terduga sebelumnya. Tak pernah terjadi sebelumnya. Ini kecelakaan yang mengerikan."
Saudara korban lain yang menolak menyebutkan namanya, 46, mengatakan keponakannya sedangkan berada di tempat peristirahatan Gunung Kinabalu ketika gempa terjadi. "Dia lari," ujarnya. Bocah SD ini kini dirawat di Gleneagles Hospital di Kota Kinabalu."Keponakan saya sangat trauma. Anak umur 12 tahun ini melihat hal yang tak sepatutnya dia lihat."
Hafiz Ahman, 43, guru, bertutur keponakannya Amal Ashley Lim, 12, juga trauma. "Dia sangat terguncang dan jadi pendiam karena melihat teman-temannya terjatuh dan meninggal," ujarnya.
Ahman melanjutkan, seorang guru yang meminta para siswa untuk tinggal di tempat aman untuk mencari anak-anak lain, tak pernah kembali.
Peony Wee Ying Ping, salah satu siswa yang meninggal. Orang tua Peony menceritakan, mereka sebetulnya tak mengizinkan anaknya mengikuti perjalanan sekolah tersebut. Alasannya, tak mudah mendaki ke tempat itu, apalagi dua bulan lagi akan ada ujian sekolah. Namun gadis kecil itu menyukai kegiatan alam. Dia memohon kepada sang ibu, yang akhirnya mengizinkannya.
"Kalau anak-anak bersemangat, mereka akan melakukan apa pun juga. Sekarang anakku telah tiada," kata Alson Wee, 51 tahun, orang tua Peony, kepada harian berbahasa Cina, Lianhe Wanbao.
Jasad Peony diterbangkan ke Singapura pada Minggu, 7 Juni 2015. Sementara itu, korban lain yang selamat telah kembali ke Singapura pada Sabtu malam, 6 Juni 2015. Termasuk dua anak dan seorang guru yang sempat menjalani perawatan di Kota Kinabalu.
Ini bukanlah pertama kalinya sekolah tersebut mengadakan tur perjalanan ke Gunung Kinabalu. Menurut majalah sekolah tersebut, Omeha Challenge, tahun lalu, sekolah mengadakan kegiatan serupa. Tahun ini, sekolah itu memberangkatkan 29 anak-anak dan delapan guru mengadakan perjalanan ke Kota Kinabalu.
Minggu, 7 Juni 2015, para alumnus dan warga setempat mengunjungi Tanjong Katong Primary School. Sekolah itu membuat situs agar orang-orang bisa menuliskan harapannya buat korban yang belum ditemukan.
STRAIT TIMES | NIEKE INDRIETTA