TEMPO.CO, Jakarta -Pusat Budaya Strombeek berdiri sejak tahun 1974.Tujuannya adalah mengenalkan seni kepada publik yang lebih luas. Jadi kalau selama ini museum sering dianggap sebagai “istana Seni” yang kerap membuat orang segan mampir. Nah Pusat Budaya Strombeek justru menginginkan masyarakat luas tertarik atau bahkan akrab dengan seni.
Tak heran jika Pusat Kebudayaan Strombeek begitu aktif mengadakan berbagai aktiVitas seni dan budaya. Termasuk seni pertunjukan seperti tari, musik, teater dan performance lainnya. Di samping juga pertunjukan film, debat seni dan pameran seni rupa dan foto.
Baru kali ini ada pekerja seni asal Indonesia yang nongol di Pusat Budaya Strombeek. Yaitu Elisabeth Ida. “Tentu saja ada rasa bangga, di samping rasanya seperti mimpi di siang bolong. Karena tidak pernah sekalipun terlintas dalam benak karya seni saya bisa begitu dihargai dan bahkan dipajang di Pusat Budaya Strombeek," kata Ida saat ditanya tentang undangan berpameran di Pusat Budaya Strombeek di Belgia.
Bukan hanya itu, Ida bahkan merasa pilihan profesinya sebagai seorang seniman semakin mantap setelah karyanya disejajarkan dengan seniman –seniman besar dunia yang juga pernah menggelar pameran di sana. Seperti Andy Warhol, Bernd & Hilla Becher, John Cage, Joseph Beuys, Thomas Ruff, Mario Merz, Michelangelo Pistoletto, Jimmie Durham, Hans Haacke.
Untuk bisa menggelar pameran di Pusat Budaya Strombeek, juga sangat selektif. Dewan direksi dan kurator yang selalu up date dengan informasi seni mengetahui dan mengikuti jejak karya para seniman, baik yang ada di dalam negeri Belgia maupun di luar Belgia. Mereka lalu menggagas sebuah konsep pameran. Seniman yang karyanya sesuai dengan tema lalu diundang untuk memamerkan hasil karya mereka.
Menurut kurator seni Lieze Eneman, jelas terlihat bahwa Elisabeth mengembangkan bentuk seni fotografi yang tidak saja artistik tapi juga berdasarkan penelitian yang sejalan dengan tema diaspora, imigrasi dan rumah. Dalam tema pameran kali ini, semuanya terlihat menyatu dalam sebuah tema yang pas.
Sebagai seorang imigran, Elisabeth Ia bisa dengan jeli menemukan sesuatu yang menarik untuk divisualisasikan. Ada jarak antara sesorang di negeri asing. Sesuatu yang mengerikan yang tersimpan dalam ingatan, pada suatu masa, dalam kehidupan berbeda, di negara berbeda dengan bahasa yang juga berbeda. Hal ini tertuang dalam rangkaian pameran foto yang berjudul Home dan Inside Embassies.
Elisabeth Ida , 36 tahun,awalnya adalah mahasiswi S1 Teknik Mesin di UGM Yogyakarta. Namun ia beralih ke jurusan seni. Tak tanggung-tanggung ia mengambil program Master of Visual Arts dengan spesialisasi fotografi dari Royal Academy of Fine Arts (Sekolah Seni dari Universitas Ghent) di Belgia dan lulus tahun 2010. Setelah menyelesaikan program pasca-master dalam studi kuratorial pada tahun 2014, Ida mengkhususkan diri dalam Pameran dan Manajemen Konservasi Seni Kontemporer.
Dalam seni fotografinya, Ida mengembangkan gaya dokumenter dengan perspektif pendekatan antropologis. Sudut pandang budaya dan tema identitas sangat penting dalam karya-karyanya. Selain bekerja sebagai seniman independen dengan keterlibatan sosial, Elisabeth Ida juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial.
Museum Fotografi Antwerp di Belgia memberinya predikat "Young Belgian Talent" pada tahun 2012, atas karyanya yang berjudul "Home" yang juga menjadi bagian dari publikasi museum dengan tema baru “’Bakat Muda Belgia”.
Seri dokumenter "Inside Embassies" dinominasikan dalam penghargaan nasional fotografi ke-16 dari Museum Fotografi di Charleroi, Belgia. Selain itu, seri ini masuk dalam seleksi penghargaan Canvas Collectie/ Collection RTBF 2010 di BOZAR. Aacara ini adalah sebuah perlombaan seni rupa di seluruh Belgia dengan jumlah pendaftar 7.900 seniman yang pada akhirnya hanya 250 karya ditampilkan di Pusat Seni Rupa (Palais de Beaux Arts) di Brussels.
Tahun 2010 seri “HOME” masuk dalam program “Coming People”, yakni seleksi lulusan master seni rupa di seluruh Belgia, yang dipilih oleh Museum Seni Kontemporer (SMAK) di Ghent, sebuah museum ternama dengan koleksi dan pameran besar.
Pada musim panas 2014, Ida diundang dalam Biennale Fotografi Internasional di Brussel, Ia menampilkan karya “Hijabers”, dengan foto muslimahdi Indonesia dan Uni Emirat Arab.
Juli 2015 mendatang, penerbit buku seni Art Paper Editions akan mengeluarkan buku foto pertama Elisabeth Ida berjudul "Inside Embassies” dengan teks pengantar Prof. Dr. Sven Biscop, anggota tim ahli pertahanan dan keamanan negara Belgia.
Beberapa resensi tentang karya Ida antara lain :
- Dr. Hans Theys, Majalah seni
art, "Huiveringwekkende Inkijk" (Pandangan yang menggetarkan), Belgia, Maret 2015; - Prof. Dr. Sven Biscop, “The Gauche Gateway” (Gerbang yang kaku), dalam buku “Inside Embassies” yang akan diterbitkan bulan Juli 2015;
- Lars Kwakkenbos, majalah TIFF dalam rangka penghargaan “Young Belgian Talents” (Bakat Muda Belgia) dari Fotomuseum Antwerpen, 2012;
- Eric Min, "De wachtzalen van de macht" (Ruang tunggu Kekuasaan), untuk pameran tunggal di Galeri B-Brussels, 2011;
Karya Elisabeth pernah dipamerkan di BOZAR Brussels antara lain, Musee de la Photographie Charleroi, De Brakke Grond Amsterdam, SMAK Ghent, Espace Niemeyer Paris, Centre Culturel Français Surabaya Indonesia, Popposition Art Fair di Brussel, Swedish Covenant Hospital di Chicago, Timmermans-Opsommermuseum di Lier Belgia , B-Gallery di Brussel, CultuurcentrumStrombeek di Belgia, Tembi Pusat Kebudayaan Yogyakarta Indonesia.
YUKE MAYARATIH (Belgia)