TEMPO.CO, Kathmandu - Orang-orang yang selamat dari kematian akibat gempa Nepal harus menghadapi bahaya baru. Penyakit, kedinginan, dan kelaparan mengancam ribuan orang yang terperangkap di daerah terpencil.
Di Ghyangphedi, sebuah desa terpencil di tepi selatan Langtang, Taman Nasional Nepal, warga bertahan dengan harapan mendapat bantuan makanan dan tempat tinggal. Namun bantuan tak kunjung tiba. Mereka menjadi putus asa.
Desa itu berubah menjadi tumpukan puing akibat gempa 7,8 skala Richter yang menerjang pada Sabtu siang, 25 April lalu. "Jika tidak mendapat makanan, kami akan mati," kata Prakash Tamang, yang putranya tewas ketika rumahnya ambruk. "Tolong, kirim makanan untuk kami."
Dilansir dari Time, sumber air minum di desa itu telah tercemar lumpur dari tanah longsor. Warga desa tidak memiliki alat untuk menyaring air. Sekitar 150 warga tidur berjubel di bawah dua terpal besar menunggu bantuan. Sebagian besar duduk dengan tatapan kosong, mencoba berlindung dari hujan sore hari.
Hujan turun hampir setiap hari sejak terjadi gempa. Suhu mencapai di bawah 50 derajat Fahrenheit (10 derajat Celsius) pada malam hari. Karmajit Tamang, pemimpin desa yang mencoba mengkoordinasi rakyatnya, mengatakan warga desa telah mencoba menggali reruntuhan untuk mencari selimut. Tapi sejauh ini mereka hanya mendapatkan beberapa lembar.
Sementara itu, pasokan makanan menipis. Biskuit dan mi instan yang diselamatkan dari toko tampak menumpuk di bawah tenda. Penduduk desa khawatir makanan itu hanya cukup untuk dua atau tiga hari ke depan. "Orang-orang membutuhkan makanan, mereka kelaparan," kata Santos, seorang remaja setempat.
Beberapa warga desa menemukan kerbau yang mati akibat gempa. Mereka dengan cepat memotong dagingnya. Tapi petugas kesehatan memperingatkan bahwa memakan daging busuk berbahaya bagi kesehatan.
Total korban tewas di Nepal sekarang telah menembus angka 5.500. Kelompok-kelompok pendistribusi bantuan mengatakan jumlah itu masih bisa meningkat karena tim penyelamat mulai mencapai desa-desa terpencil, seperti Ghyangphedi. Karmajit Tamang yakin bahwa ada lebih banyak orang yang tewas akibat tanah longsor di desa-desa yang terletak di lembah.
Kebanyakan masyarakat yang berhasil selamat dari gempa tengah bekerja di ladang saat gempa itu terjadi. Di tengah kedukaan, mereka menggali reruntuhan untuk menemukan korban dan kemudian membakar tubuh korban-korban itu.
Satu helikopter militer dilaporkan mendarat sebentar sehari setelah gempa dan mengevakuasi yang terluka paling parah. Tapi, sejak saat itu, tidak ada tentara, pejabat pemerintah, atau kelompok pendistribusi bantuan yang kembali ke desa terpencil itu.
Lokasi Ghyangphedi berjarak sekitar enam jam perjalanan dari Ibu Kota Kathmandu, tapi tanah longsor menyebabkan jalan terputus. Sekarang desa itu hanya bisa diakses dengan berjalan kaki atau menumpang helikopter. "Kami merasa kehilangan," kata Karmajit Tamang. "Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan."
TIME | MECHOS DE LAROCHA