TEMPO.CO, Jakarta - Bencana gempa berkekuatan 7,9 Skala Richter yang menerjang Nepal pada Sabtu, 25 April 2015 pukul 11.56 seperti mimpi buruk. Semua orang kaget, panik, dan ketakutan menyaksikan guncangan gempa di siang bolong. Megharaj Adhikari meneteskan air mata menyaksikan negerinya luluh lantak hanya dalam rentang waktu beberapa jam saja.
Tempo yang menghubungi Megharaj via Facebook menerima penjelasan tentang apa yang terjadi di negaranya pada Sabtu malam itu. Megharaj mengirimkan surat berjudul “Gempa Mematikan di Kathmandu dan Konfigurasinya” ke Tempo. Dalam surat itu dipaparkan pengalaman dia menghadapi bencana dahsyat yang merenggut ribuan orang itu. Berikut ini bagian pertama surat Megharaj, pengajar di Universitas Thribhuvan, Kathmandu, Nepal, itu.
Kongres Cerita Rakyat Internasional Kelima untuk hari kedua sedang berlangsung. Sesi pertama berakhir dan saat sesi kedua menghadirkan Er. Sunil Babu yang mempresentasikan makalahnya bertajuk “Cultural Impact Assessment of Urbanization in Nepal”. Kala itu mendadak kami merasa getaran di lantai dua ruang pertemuan Nepal Academy, Kamalady, Kathamandu. Semua orang panik dan melompat. Kami berusaha lari ke luar dari gedung. Akhirnya goncangan berhenti dan kami semua duduk di tanah.
Seketika saya merasa aman, saya langsung menelepon ibu saya, yang tinggal jauh dari Kathmandu. Bersamaan itu getaran kembali terasa. Saya mengatakan kepada ibu saya,“Aama aba sabai sakinacha jasto chha. Ma khusi chhu aama sanga kura garda gardai marna paune bhaye" (Ibu, segalanya akan berakhir. Saat berbicara denganmu, saya sedang sekarat.) Ibu saya menangis dan begitu juga saya. Setelah itu gempa berhenti, kami semua hening. Namun getaran-getaran itu masih kami rasakan sekitar 5-10 menit.
Telepon tidak bekerja, kecuali beberapa telepon seluler berbayar. Saat itu saya bersama guru saya, Prof Abhi Subedi dan Dr Shiva Rijal. Kami bertiga ketakutan, sama halnya dengan orang-orang lain di tempat terbuka.
Kami mulai mendengarkan satu demi satu kabar mengerikan. Yang pertama adalah rubuhnya menara tertinggi yang merupakan landmark Nepal, Dharahara, yang dibangun pada 1832 oleh perdana menteri pertama Nepal, Bhimsen Thapa. Lebih dari 20 orang tewas.
Setelah mendengarnya, kami tidak punya alasan apa pun kecuali menyerah dan menunggu berita buruk lainnya. Apa yang dapat kami lakukan, mencari tempat berlindung? Jika kami melakukan itu, kami menantang maut! Oleh sebab itu, tempat terbuka adalah ruang yang secara relatif aman bagi kami.
MARIA RITA