TEMPO.CO, Jakarta - Perayaan tahun baru identik dengan pesta kembang api. Tak terkecuali saat perayaan Imlek. Percikan kembang api di langit memang sudah jadi tradisi berabad-abad. Namun tahun ini, pemerintah Cina justru meminta masyarakat untuk mengurangi nyala kembang api.
Permintaan itu untuk mengurangi polusi udara beracun akibat banyaknya kembang api yang dinyalakan. Banyak kota-kota di Cina yang sudah melarang warganya untuk menyalakan kembang api pada Rabu, 18 Februari, dan Kamis, 19 Februari 2015. Sementara kota lainnya memilih untuk mengurangi penjual kembang api yang diizinkan untuk menjual kembang api.
Di Beijing, masyarakat menerima pesan teks dari operator telepon selular. Pesan ini berisi tentang nasihat untuk mengurangi kembang api. Sementara media pemerintah terus mengulangi peringatan ini lewat koran dan website.
Rabu lalu, diperkirakan sebagai hari yang paling berpolusi. Tingkat polusi itu juga diperkirakan akan mencapai skala polusi udara tertinggi dalam skala pengukuran. Polusi udara ini kemungkinan akan berlangsung sampai Jumat besok karena kondisi yang berangin.
Meskipun sudah diperingatkan, salah satu penjual kembang api bermarga Yu di Beijing mengatakan bahwa ia masih sibuk melayani pelanggan. Mengutip Fox News, Yu hanya diizinkan untuk menjual kembang api hanya sepuluh hari di tahun ini. Sedangkan tahun lalu, ia bisa berjualan sampai 20 hari.
Seperti diketahui, negara ini berada di bawah tekanan besar untuk bisa menghilangkan polusi udara. Negara ini termasuk dalam negara yang paling berpolusi di dunia. Tahun lalu, pemerintah Beijing mengatakan jika pemerintah berencana untuk bisa menghilangkan semua bentuk pemakaian dan pembakaran batu bara pada 2020 secara bertahap.
Sekitar 60 persen produksi energi dan 80 persen listrik di Cina masih bergantung pada batu bara. Pada November 2014, Presiden Xi Jinping berjanji untuk menghentikan peningkatan emisi karbon paling lambat pada 2030.
FOX NEWS | WINONA AMANDA