TEMPO.CO, Seoul - Diam-diam, mata uang dolar Amerika dan Yuan beredar luas di Korea Utara. Mata uang ini diterima secara luas dan dianggap beberapa pengamat merupakan bagian dari resusitasi perekonomian yang sebelumnya nyaris sekarat di negara itu.
Beredarnya yuan dan dolar diduga merupakan dampak dari salah satu kebijakan yang memungkinkan petani untuk menjual sebagian produk mereka kepada pihak lain. Sebelumnya, mereka hanya boleh menjualnya kepada negara.
Berbarengan dengan banyak beredarnya mata uang asing, kini minimarket gaya Barat banyak bermunculan di negara itu. Pemerintah Korea Utara mewaspadai penyebaran kapitalisme, namun para analis mengatakan Korea Utara tampaknya telah memasuki fase koeksistensi dengan ekonomi pasar yang belum sempurna.
Sebuah sumber mengatakan jumlah mata uang asing yang beredar sejak pemimpin Kim Jong-un berkuasa pada akhir 2011 menyumbang 10 persen dari PDB negara tahun 2012, atau sebesar US$ 29,6 miliar dolar AS. Satu sumber mengatakan perekonomian Korut tidak akan bisa berjalan tanpa mata uang asing.
"Warga Korea Utara mempunyai kepercayaan yang tinggi pada dolar atau yuan ketimbang mata uang mereka sendiri," kata Yang Moon-soo, profesor studi Korea Utara di sebuah universitas di Seoul. "Dolarisasi dan yuanisasi kini tengah berlangsung di Utara."
Beberapa ahli membandingkan tren ini dengan hari-hari terakhir Uni Soviet pada 1980-an, ketika warga Rusia lebih menyukai valuta asing yang diperoleh di pasar gelap ketimbang rubel. Dolar secara luas digunakan seperti mata uang negara itu di Pyongyang. Sedang yuan banyak digunakan sebagai alat jual beli di perbatasan negeri yang dekat dengan Cina.
Samsung Economic Research Institute memperkirakan bahwa lebih dari US$ 2 miliar dolar dan yuan beredar di Korea Utara. "Kami memperkirakan sekitar 50 persen dari mata uang asing yang beredar adalah dolar, 40 persen yuan, dan 10 persen euro," kata seorang sumber di lembaga ini.
CHOSUN ILBO | TRIP B