TEMPO Interaktif, New Delhi - Hanya dalam tempo empat bulan sejak ledakan pertama terjadi, gedung Pengadilan Tinggi New Delhi kemarin kembali diguncang bom. Sedikitnya 11 orang tewas dan 59 lainnya terluka akibat ledakan bom yang disimpan dalam tas kantor itu.
Saat itu, pukul 10.15, gedung pengadilan mulai ramai oleh pengunjung, termasuk pengacara. Chanakya Dwivedi menuturkan, ia baru saja memasuki gedung ketua pengadilan. Mendekati tempat pemeriksaan pertama keamanan, dia mendengar suara dentuman keras. "Gedung berguncang seperti gempa bumi," kata Chanakya, seorang saksi mata.
Sekitar 20 detik berlalu, Chanakya melihat gumpalan asap besar di pintu utama dan bercak darah di sekitar gedung, diiringi tangisan orang-orang.
Perdana Menteri India Manmohan Singh mengutuk aksi pengeboman itu sebagai tindakan pengecut teroris. "Kami tidak akan pernah mengalah atas tekanan teroris," ujar Singh kemarin dari Dhaka, Bangladesh. Singh sedang melakukan kunjungan kerja ke negara jirannya itu.
Menteri Dalam Negeri India Palaniappan Chidambaram mengatakan ledakan bom merupakan ulah para teroris. Badan Intelijen India, kata dia, sudah menerima informasi pada Juli lalu tentang kemungkinan ancaman teror di kota tersebut. "Delhi merupakan target sejumlah kelompok teroris," kata Chidambaram.
Penanganan selanjutnya kasus peledakan bom ini, menurut Chidambaram, dilakukan oleh Badan Investigasi Nasional (NIA) dan Pengawal Keamanan Nasional (NSG).
Direktur NSG Jenderal Rajen Medhekar menjelaskan, bom itu mengandung amonium nitrat. "Kami bekerja sama dengan kepolisian Delhi untuk mendapatkan detailnya," ujar Medhekar.
Kelompok milisi Islam, Harkat-ul-Jihad al-Islami, yang bermarkas di Pakistan, kemarin mengirim surat elektronik ke beberapa jaringan televisi. Harkat-ul-Jihad al-Islami mengaku bertanggung jawab atas pengeboman tersebut, termasuk sejumlah ledakan bom lainnya di India.
Pada Mei lalu, bom meledak di halaman parkir mobil gedung Pengadilan Tinggi Delhi. Ledakan berdaya lemah ini tidak menimbulkan korban jiwa.
THE NEW YORK TIMES | AP | THE HINDUSTAN TIMES | MARIA RITA