TEMPO Interaktif, Paris - Kematian tenaga kerja asal Indonesia, Ruyati binti Satubi Saruna, akibat hukuman pancung di Mekah ternyata menarik perhatian Pemerintah Prancis. Penasihat Presiden Prancis untuk Urusan Asia Pasifik, Bertrand Lortholary, menegaskan Prancis dan negara Eropa lainnya sangat tidak setuju dengan hukuman mati.
“Hukuman mati minggu lalu sama sekali tak bisa diterima karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan hak para pekerja. Hak pekerja yang bekerja di luar negeri harus dibela,” kata Lortholary kepada wartawan dari media cetak Indonesia di Paris, Jumat siang, atau Sabtu, 25 Juni 2011, waktu Indonesia Barat.
Hal tersebut menanggapi hukuman mati yang dijatuhkan Pemerintah Arab Saudi kepada tenaga kerja wanita asal Indonesia, Ruyati binti Satubi Saruna. Ruyati dihukum pancung di Mekah pada Sabtu, 18 Juni 2011, lantaran terbukti bersalah membunuh wanita Saudi yang juga majikannya, Khairiya binti Hamid Mijlid.
Kabar eksekusi Ruyati pertama kali diketahui lewat media Saudi, seperti laman www.alriyadh.com dan www.arabnews.com. Pemerintah justru mengaku tidak tahu-menahu soal kabar eksekusi Ruyati. Hal ini menjadi bukti kegagalan pemerintah melindungi nyawa tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Saudi.
Meski tidak memiliki informasi lengkap tentang kasus tersebut, kata Lortholary, dari informasi di beberapa media, kasus tersebut merupakan sebuah ketidakadilan. “Perlakuan dari majikan kepada tenaga kerja tersebut tidak bisa diterima,” ujarnya.
Hal itu menyangkut hak-hak pekerja Indonesia di luar negeri. Pemerintah Prancis juga akan mendukung seluruh masukan dari negara-negara lain yang membela hak-hak pekerja di luar negeri. “Tidak bisa diterima di abad ke-21 ini masih ada perbudakan,” ujar Lortholary.
Ada peraturan-peraturan perburuhan internasional dan ada organisasi perburuhan internasional (ILO), dan peraturan itu harus dipatuhi semua orang. Rakyat Prancis sangat kaget dan syok dengan adanya hukuman mati itu.
R. R. ARIYANI (PARIS)