TEMPO.CO, Dhaka - "Lebih baik mati ditembak di Myanmar daripada hidup seperti ini," ucap Nasima Khatun, 70 tahun, kepada kantor berita Anadolu, Kamis, 21 September 2017.
Dia datang ke Bangladesh setelah melalui jalan panjang dan penderitaan dari Buchidang, Myanmar.
Baca:Tenda Bantuan Indonesia untuk Rohingya Telah Dipasang
Nasima menjelaskan, dia merasa sekujur tubuhnya sakit. Air hujan meresap ke dalam tenda kecil yang menjadi tempatnya bernaung. Tempat itu sekarang seperti kubangan, berlumpur dan pengap.
Perempuan renta ini memiliki seorang putra berusia 12 tahun. Dua putra lainnya meninggal sebelumnya. Dia bersama suaminya melintasi tujuh bukit berjalan kaki untuk mencapai Bangladesh. Menurutnya, makanan dan kondisi kehidupan di kamp pengungsi sangat menyedihkan. Bahkan dia tidak ganti pakaian selama delapan hari.
Baca: Truk Palang Merah Bawa Bantuan untuk Rohingya Terbalik, 9 Tewas
Pegungsi Rohingya gaek lainnya adalah Sayeeda Banu, 60 tahun. Sama seperti Nasima, Sayeeda melakukan perjalanan jauh bersama suaminya. Tiba-tiba kenangan ribuan mayat yang dimutilasi berkelebat di benaknya.
Dia tidak ingin kembali ke sana. Sayeeda merasa sakit ketika bergerak dan berdoa agar cepat pulih.
Suaminya, Muhammad Sultan, 68 tahun, adalah seorang petani. Mereka memiliki lahan, sawah, delapan sapi, empat kambing dengan berbagai ukuran. Semua itu ditinggalkan demi mencari tempat aman.
Kini, mereka harus melebarkan tangannya untuk mendapatkan makanan. Kadang-kadng mereka mendapatkannya dan tak jarang susah menemukan makanan. Mereka tinggal di kamp pengungsi Tengkhali.
Menurut data hasil survei ISCG pada 20 September 2017, sebanyak 429 ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017. Sebanyak 145 ribu pengungsi berada di kamp, sedangkan 196 ribu Rohingya lainnya berada di bukit, di bawah tenda kecil, dan dekat kamp. Adapun 88 ribu orang bersama keluarganya yang berada di sana sebelumnya.
Salamat Ullah, 60 tahun, memiliki enam anak laki-aki dan beberapa perempuan yang mengungsi ke Bangladesh pekan lalu. Dia adalah seorang pegawai pemerintah, pensiun dari pekerjaannya setahun lalu dan membangun sebuah rumah cantik di Buchidong, Myanmar. Dia memiliki 17 sapi dan banyak lahan subur.
Demi menyelamatkan nyawanya, dia meninggalkan Myanmar dan seluruh harta yang dimiliki. Sekarang mereka dihadapkan pada tantangan untuk bisa hidup.
Pria yang belum pernah menengadahkan tangannya untuk meminta bantuan itu sekarang harus berjuang mendapatkan makanan untuk mengatasi rasa laparnya.
Almaskatu, seorang perempuan berusia 70 tahun. Dia memiliki dua anak laki-laki yang paling muda bernama Mojammel yang diambil dari rumahnya. Alamaskatu kabur ke Bangladesh bersama menantu dan cucunya berusia dua tahun.
Mereka bersembunyi di dalam hutan selama tujuh hari tanpa makanan. Setelah tiba di Bangladesh, mereka mendapatkan makanan dan pakaian tetapi tidak bisa mandi. Penderitaannya kian menjadi setelah dia kehilangan anak laki-lakinya.
"Dia selalu berdoa agar ada perdamaian di Myanmar sehingga bisa kembali," tulis Anadolu.
ANADOLU | CHOIRUL AMINUDDIN