TEMPO.CO, Yangon - Gereja Katolik Myanmar akhirnya mengeluarkan pernyataan merespon krisis kemanusiaan yang terjadi terhadap etnis Rohingya di Rakhine State. Ini sebagai respon terhadap pengungsian ratusan ribu Muslim Rohingya, yang melarikan diri ke Bangladesh dari kekerasan militer Myanmar. Pihak Gereja Katolik dan dunia internasional mengkritik sikap diam pemerintah sipil terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi.
Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Myanmar, Kardinal Charles Maung Bo, mengatakan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi seharusnya berbicara membela warga etnis Rohingnya yang tertindas oleh serangan militer Myanmar.
Baca: Jawaban Jokowi Soal Langkah Indonesia untuk Rohingya
Kardinal Charles Maung Bo, Uskup Agung Katolik Yangon, mengatakan orang-orang di negara bagian Rakhine menghadapi penderitaan yang "luar biasa", diperburuk oleh pengabaian dan perlakuan buruk yang berlangsung selama puluhan tahun dan tidak mendapat penyelesaian cepat.
Baca: Cerita Biksu yang Disebut Teroris Setelah Kasus Rohingya Mencuat
"Dunia melihat Aung San Suu Kyi dengan lensa yang sama saat memandangnya selama perjuangannya untuk menegakkan demokrasi," kata Bo. "Sekarang dia adalah bagian dari pemerintahan, dia adalah pemimpin politik. Seharusnya dia telah berbicara lantang soal ini. "
Aung San Suu Kyi berada dalam tekanan internasional atas terjadinya krisis kemanusiaan Rohingya, yang telah mengakibatkan lebih dari 370.000 warga etnis minoritas muslim meninggalkan Negara Bagian Rakhine, Mynamar, ke Bangladesh dalam tiga minggu terakhir.
Konflik terbaru ini dimulai pada 25 Agustus, ketika tentara Myanmar melancarkan tindakan militer di Rakhine State sebagai balasan atas serangan yang diklaim oleh milisi Rohingya, ARSA.
Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB untuk Pengungsi telah menerima laporan bahwa pasukan keamanan dan milisi membakar Rakhine State, yang mayoritas dihuni warga etnis Rohingya. Mereka juga menembaki warga sipil yang melarikan diri. Kepala Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia bahwa situasinya seperti pembersihan etnis.
Pemimpin Myanmar, Penasihat Negara dan peraih Nobel, Aung San Suu Kyi, belum mengecam sedikitpun tindakan kekerasan militer negara itu terhadap warga minoritas Muslim di negara yang mayoritas beragama Budha itu.
Pada Rabu kemarin, Suu Kyi membatalkan rencana perjalanannya ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, yang bakal bersidang pada pekan depan. Suu Kyi menyalahkan adanya kampanye informasi keliru dan berita palsu yang dianggapnya memicu krisis.
Seperti yang dilansir Time pada 14 September 2017, menurut Bo, posisi Suu Kyi di Myanmar tetap rapuh. Meskipun terpilih dalam pemilihan demokratis, tetapi militer masih mengendalikan kementerian utama pemerintah, termasuk Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, dan Perbatasan.
Bo juga memperingatkan agar tidak melabeli kekerasan di Rakhine sebagai genosida. "Dalam konteks ini, meskipun ada penganiayaan tapi tidak memenuhi syarat sebagai genosida atau pembersihan etnis terhadap komunitas Muslim," kata Bo.
Dia meminta agar masyarakat internasional mencoba meredakan ketegangan dan kemarahan di wilayah ini dengan menggunakan bahasa yang tidak akan mengganggu kedua belah pihak.
Paus Fransiskus mengangkat Bo sebagai pemimpin umat Katolik Myanmar pada tahun 2015. Paus menjadikannya uskup agung pertama dari Myanmar, yang bergabung dengan Catholic College of Cardinals, badan global tertinggi gereja untuk memilih paus.
Paus Fransiskus telah berbicara secara teratur untuk mendukung populasi Muslim Rohingya. Pada akhir Agustus, saat kekerasan meningkat, Paus Fransiskus mengumumkan dia akan mengunjungi negara itu pada November nanti.
Sehari sebelum Vatikan mengumumkan rencana perjalanan ini, Paus Fransiskus meminta pemerintah Myanmar mengakhiri penganiayaan terhadap kelompok minoritas agama, laki-laki dan perempuan Rohingya. Paus meminta mereka diberi hak penuh sebagai warga negara.
Paus Fransiskus juga menyoroti penderitaan umat Islam yang diusir dari Myanmar sebagai bagian dari upaya untuk membangun simpati bagi para imigran dari semua agama di seluruh dunia.
TIME | YON DEMA