TEMPO.CO, Marawi - Wanita dan anak-anak dipaksa mengangkat senjata oleh kelompok Maute pro-ISIS di Marawi untuk melawan militer Filipina.
Sudah lebih dari 100 hari pertempuran berlangsung di selatan Filipina antara milisi Maute yang berjanji setia kepada ISIS dan pemerintah. Pertempuran itu membuat milisi pria semakin minim, sehingga wanita dan anak-anak dipaksa angkat senjata.
Pihak militer membuat pernyataan tersebut pada Senin, 4 September 2017, untuk merebut kembali kota tersebut dari pemberontak bersenjata.
Letnan Jenderal Carlito Galvez, yang memimpin militer di Mindanao Barat, mengatakan jumlah milisi berkurang dan sejumlah kecil perempuan dan anak-anak, kemungkinan besar anggota keluarga pemberontak, sekarang terlibat dalam pertempuran.
Baca: Terungkap, Inilah Aktor dan Calon Pemimpin ISIS di Marawi
"Pasukan kami di lapangan melihat wanita dan anak-anak menembaki pasukan kami. Karena itu, milisi tampaknya tidak habis-habis," kata Galvez, seperti dilansir Asia Correspondent, Selasa, 5 September 2017.
Pertempuran yang telah memasuki hari ke 106 tersebut terpusat di area kecil di jantung komersial kota yang penuh dengan penembak jitu, juga jebakan ranjau. Militer mengatakan pihaknya berharap dapat membunuh lebih banyak lagi milisi dalam pertempuran yang dikatakan telah memasuki tahap akhir.
"Kami sekarang berada dalam tahap akhir operasi kami, serta kami mengharapkan pertempuran yang lebih intens dan berdarah. Kami mungkin menderita korban yang lebih berat karena musuh menjadi semakin putus asa," kata Galvez.
Setelah gagal menghentikan pemberontakan di minggu-minggu awalnya, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memperpanjang darurat militer di Mindanao sampai akhir 2017.
Lebih dari 800 orang telah terbunuh dalam pertempuran tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah milisi Maute yang sejak 23 Mei menduduki sebagian besar kota berpenduduk mayoritas muslim tersebut.
Filipina Selatan diteror selama beberapa dekade oleh pemberontakan dan bandit. Namun intensitas pertempuran di Marawi dan kehadiran milisi asing yang berperang bersama dengan teroris lokal telah menimbulkan kekhawatiran wilayah tersebut mungkin menjadi pusat ISIS di Asia Tenggara.
ASIA CORRESPONDENT | REUTERS | YON DEMA