TEMPO.CO, Pyongyang -Korea Utara akan membalas ribuan kali lipat lebih kejam terhadap sanksi baru Dewan Kemanan PBB yang dibuat atas prakasa Amerika Serikat.
Pyongyang menegaskan rencana untuk membalas sanksi yang dirancang Washington untuk mengisolasi dan menghancurkan Korea Utara melalui media pemerintah.
Baca: Korea Selatan - Amerika Terapkan Sanksi Maksimum ke Korea Utara
"Sanksi PBB tidak akan pernah memaksa kami untuk bernegosiasi mengenai program nuklir atau untuk menghentikan usaha nuklir kami," kata Pyongyang, seperti yang dilansir Independent pada 7 Agustus 2017.
Pyongyang menegaskan pihaknya akan mengambil tindakan atas nama keadilan, namun tidak menjelaskan secara rinci.
Pada Sabtu, 5 Agustus 2017, 15 anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk Rusia dan Cina dengan suara bulat mendukung pemberian sanksi baru terhadap Korea Utara.
Baca: Orang Nomor 2 Korea Utara Kunjungi Iran 10 Hari, Ada Apa?
Sanksi Dewan Keamanan PBB tersebut diperkirakan akan memangkas sepertiga dari pendapatan ekspor tahunan Korea Utara, yakni US$ 3 miliar atau setara Rp 39,9 triliun atas uji coba rudal ICBM pada 2 Juli lalu.
Resolusi Dewan Keamanan PBB yang diusulkan oleh Amerika Serikat itu melarang ekspor batu bara, besi, bijih besi, timah hitam, dan makanan laut dari Korea Utara. Negara-negara anggota PBB juga dilarang meningkatkan jumlah pekerja Korea Utara di negaranyai, melarang usaha patungan baru dengan Korea Utara dan investasi baru dalam usaha patungan yang ada saat ini.
Korea Utara telah mendapat sanksi PBB sejak 2006. Langkah baru, yang memperluas sanksi yang ada, merupakan respons terhadap lima uji coba nuklir dan empat rudal jarak jauh diluncurkan.
Baca: Korea Utara Dihukum, Trump Berterima Kasih ke Cina dan Rusia
Upaya sebelumnya untuk memaksa Pyongyang meninggalkan program senjata nuklirnya telah dilemahkan oleh mitra dagang Korea Utara yang tidak menerapkannya.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump telah menuntut agar hukuman terhadap Korea Utara dilaksanakan dengan cepat dan secara penuh. Namun Menteri Luar Negeri Rex Tillerson mengindikasikan ada kemungkinan negosiasi yang bisa dimulai kembali.
INDEPENDENT|EXPRESS|YON DEMA