TEMPO.CO, New York - Amerika Serikat mendesak Myanmar agar mengizinkan tim pencari fakta Perserikatan Banga-Bangsa atau PBB untuk menyelidiki tuduhan tentang pembunuhan, perkosaan dan pelecehan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap minoritas muslim Rohingya di Rakhine.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang berbasis di Jenewa membentuk tim penyelidik pada Maret lalu, namun Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto pemerintah sipil Myanmar dan juga menteri luar negeri, menolak tuduhan tersebut dan menentang misi tersebut.
Menanggapi itu, Duta Besar Amerika untuk PBB di New York, Nikki Haley mengatakan bahwa pemerintah Myanmar wajib mengizinkan misi pencarian fakta PBB.
Baca: Terkait Rohingya, Malaysia Siap Bersikap Tegas terhadap Myanmar
"Adalah penting bahwa pemerintah Burma mengizinkan misi pencarian fakta ini untuk melakukan tugasnya. Masyarakat internasional tidak dapat mengabaikan apa yang terjadi di Rakhine ," kata Haley, seperti dilansir Straits Times, Selasa 11 Juli 2017.
Sekitar 75.000 warga Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine ke Bangladesh setelah tentara Myanmar melakukan operasi keamanan pada Oktober tahun lalu sebagai tanggapan atas serangan mematikan gerilyawan Rohingya di pos-pos perbatasan.
Menurut UNHCR, sekitar 300.000 pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar, kini tinggal di Bangladesh. Banyak yang masih berhasrat untuk pulang ke Myanmar.
Baca: Myanmar Tolak Tim PBB Pencari Fakta Rohingya
Sebuah laporan PBB dari bulan Februari, berdasarkan wawancara dengan beberapa pengungsi Rohingya, mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan perkosaan kelompok Rohingya yang diyakini sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida atau pembersihan etnis.
Pemerintah Myanmar menggambarkan sekitar sejuta penduduk Rohingya di Myanmar sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan tidak mengakui mereka sebagai warganya meskipun kaum Rohingya telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
INDEPENDENT | STRAITS TIMES | YON DEMA