TEMPO.CO, Jakarta - Hubungan antara Qatar dan Arab Saudi beserta empat negara sekutunya yang masih membara. Bahkan Qatar menolak keras 13 tuntutan yang diajukan oleh Saudi untuk mengakhiri baikot terhadap negara kecil di kawasan Teluk itu.
Menurut peneliti Al-Jazeera Center for Studies (AJCS) Jamal Abdullah, konflik ini membutuhkan pihak ketiga untuk memediasi kedua pihak yang sama-sama keras mempertahankan kepentingannya. “Kalau tidak ada mediator sulit menyelesaikannya,” kata Jamal dalam diskusi “Kristis Qatar: Apa dan Siapa yang Bermain” di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia di Depok, Rabu 5 Juli 2017.
Sampai sejauh ini Kuwait berupaya mendamaikan mereka, tapi belum ada kemajuan yang signifikan. Mungkin dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk menormalkan lagi hubungan kedua negara yang berbatasan darat itu.
Baca: Inilah Pemicu Arab Saudi Putuskan Hubungan dengan Qatar
Pemutusan hubungan diplomatik tersebut, menurut Jamal, dipengaruhi oleh perebutan pengaruh antara Saudi dan Qatar, yang dalam 20 tahun terakhir bangkit menjadi negara yang berpengaruh di kawasan tersebut. Tak seperti negara-negara kecil lainnya di Teluk, Qatar tidak mau mencari perlindungan ke Saudi.
Sebaliknya, Qatar justru membangun kekuatan sendiri dengan menjalin kerjasama dengan sejumlah negara, seperti Iran, yang selama ini bermusukan dengan Saudi. Karena itu, Saudi menuduh Qatar mendukung terorisme dan mengajak negara-negara Teluk bekerjasama dengan Iran.
Pertanyaan yang penting: mengapa Qatar tampak begitu kuat dan berani melawan Saudi? Jamal mengatakan Qatar, sebagai negara dengan penduduk sekitar 2,6 juta orang dan luas hanya 12 ribu kilometer persegi, sudah lama tahu kelemahannya, terutama dari aspek pertahanan dan jumlah penduduk.
Menurut Jamal, negara monarki itu memainkan tiga diplomasi untuk memperkuat perannya di tingkat kawasan dan dunia yakni diplomasi image building melalui media Al Jazeera, menjadi negosiator atau mediator berbagai konflik kawasan, dan meningkatkan pendidikan. “Itu secret diplomacy Qatar,” kata Jamal.
Al Jazeera, menurut dia, menjadi bagian dari alat diplomasi luar negeri Qatar untuk menyebarkan pengaruh tidak hanya di kawasan Teluk tapi juga seluruh dunia. Walau di negeri itu pers tidak bebas, Jamal mengatakan jaringan televisi ini ikut mendorong demokratisasi, dikenal sebagai Arab Spring, yang menggoyang sejumlah rezim di kawasan Teluk. “Termasuk mengkritik negara-negara Arab yang konservatif,” kata dia.
Adapun peran sebagai mediator diwujudkan dengan merangkul banyak negara-negara kuat dan kelompok, termasuk dengan kelompok yang dianggap oleh Barat dan Saudi sebagai kelompok ekstrimis. Negara ini memiliki banyak kawan sekaligus untuk memperkuat posisi di kawasan.
Misalnya, Qatar menyediakan pangkalan bagi angkatan Udara Amerika Serikat tapi pada saat yang sama juga menjalin kerjasama dengan Iran. Pangkalan militer Al Udeid, 32 kilometer dari Doha, menjadi rumah bagi 11 ribu tentara Amerika dan koalisinya untuk operasi melawan ISIS di Suriah dan Afganistan.
Qatar juga dekat dengan Ikhwanul Muslimin Mesir dan Hamas, kelompok yang dianggap sebagai teroris oleh Amerika. “Bahkan Taliban Pakistan punya kantor perwakilan di Doha,” kata Jamal. Keterbukaan Qatar ini mempermudah negara itu terlibat sebagai mediator saat terjadi konflik.
Diplomasi ketiga adalah di bidang pendidikan. Mereka mereformasi sistem pendidikan agar sesuai standar internasional, termasuk mendatangkan para tenaga pengajar kelas dunia. Di Universitas Qatar, satu-satunya universitas negeri di negara itu, kuliahnya disampaikan dalam bahasa Arab dan Inggris.
Dengan kekayaan minyak bumi dan cadangan gas alam yang besar, dana pendidikan bukan masalah bagi Qatar. Mereka mendesain lembaga pendidikan berkualitas, mengalahkan kualitas pendidikan di negara-negara kawasan tersebut.
AHMAD NURHASIM