TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pemuka agama dan pemimpin masyarakat adat di dunia berinisiatif mengakhiri deforestasi. Mereka berkumpul dalam acara Interfaith Rainforest Initiative Participants di Oslo, Norwegia pada 19-21 Juni 2017.
"Tujuan kami bekerja sama dengan pemimpin spiritual dan pemimpin adat untuk mendefinisikan rencana tindakan bersama, dalam menciptakan gerakan melindungi hutan hujan," kata Presiden Kehormatan Agama-agama untuk Perdamaian, Uskup Emeritus Gunnar Stålsett.
Baca juga: Pemuka Agama dan Adat di Dunia Berinisiatif Akhiri Deforestasi
Pertemuan lintas agama dan masyarakat adat ini diselenggarakan oleh Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI), Rainforest Foundation Norway (RFN) and the United Nations Development Programme (UNDP).
Peserta dari Indonesia adalah Din Syamsuddin (Ketua Center for Dialogue and Cooperation Among Civilizations), Zainal Abidin Bagir (Director Eksekutif Center for Religious and Cross-Cultural Studies, UGM), Abdon Nababan (Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Azis Asman (Direktur Naladwipa Research Institute ) dan Nana Firman (Director Green Faith yang sekarang tinggal di Amerika Serikat).
Nana Firman, mengatakan dirinya berbagi tentang pentingnya bekerja bersama antar pemeluk agama dalam melindungi hutan hujan. Ia bercerita dari awal perjalanannya sebagai pemerhati lingkungan.
"Dari pemerhati lingkungan yang tak terlalu terhubung dengan Islam, kemudian lebih terhubung dengan keyakinan saya, yaitu Islam melalui karya di bidang lingkungan. Lalu bekerja dalam konteks multi agama dan menyadari praktik dan tradisi relijius semakin berarti bagi saya," kata Nana Firman kepada Tempo saat dihubungi Senin, 19 Juni 2017.
Ia mengungkapkan pertanyaan kunci yang diajukan kepadanya sebagai pembicara adalah tentang mengapa kerja-kerja yang dilakukan antar pemeluk agama atau multi agama signifikan dan perbedaan apa yang dihasilkan dari bekerja antar pemeluk agama.
Sebagai pemerhati lingkungan, Nana merasa pekerjaan yang dilakukan bersama berbagai pemeluk agama sangatlah penting. Apapun agama yang dianut seseorang, katanya, pasti menginginkan air bersih, udara yang bersih, tanah yang bersih dan juga makanan yang sehat atau hidup yang sehat.
Menurut Nana keluaran dari pertemuan semacam ini adalah pemahaman akan lingkungan yang sama antar berbagai agama dan tradisi. Harapannya pemahaman ini muncul di kalangan anak-anak muda untuk masa depan bersama.
Nana menuturkan dirinya bersyukur ada ikatan yang mengikat tradisi keagamaan, di mana diakui bahwa apa yang dilakukan kepada alam, maka sebenarnya dilakukan juga ke dirinya.Ia merasa hal ini juga sebenarnya berlaku untuk perlindungan hutan hujan di dunia.
Nana mengungkapkan dengan menggabungkan usaha bersama, masyarakat dapat memanfaatkan otoritas moral dan spiritual untuk menyampaikan pesan tentang nilai hutan hujan sebagai bagian unik dari penciptaan. Juga menjangkau masyarakat lokal dan memobilisasi dukungan terhadap perlindungan hutan hujan di seluruh dunia.
Dia memberi contoh kalau dalam Islam, kata ayat dalam bahasa arab berarti naskah dari kitab suci Al-Quran, tapi juga berarti tanda-tanda alam. Ia yakin semua muslim akan menggerakkan kepala mereka begitu tahu ada seseorang menghapus satu ayat dalam Al-Quran.
"Tapi kenapa kita tak merasakan apapun, ketika banyak spesies punah karena mereka juga ayat?," ucap Nana.
Nana berujar pertanyaan-pertanyaan di atas sangat penting untuk membuat dirinya berpikir akan pentingnya hutan hujan dan diperlukan usaha bersama untuk melindunginya.
DIKO OKTARA | UWD