TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pemuka agama dan pemimpin masyarakat adat di dunia bertemu dalam acara Interfaith Rainforest Initiative Participants di Oslo, Norwegia pada 19-21 Juni 2017.
Mereka meluncurkan inisiatif untuk mengakhiri desforestasi (penebangan hutan) dan melindungi hutan hujan tropis bagi kehidupan manusia.
Pertemuan lintas agama dan masyarakat adat ini diselenggarakan oleh Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI), Rainforest Foundation Norway (RFN) and the United Nations Development Programme (UNDP).
"Tujuan kami bekerja sama dengan pemimpin spiritual dan pemimpin adat untuk mendefinisikan rencana tindakan bersama, dalam menciptakan gerakan melindungi hutan hujan," kata Presiden Kehormatan Agama-agama untuk Perdamaian, Uskup Emeritus Gunnar Stålsett, dalam siaran tertulisnya.
Stålsett mengatakan, ruang lingkup inisiatif ini bersifat global. Namun, pihaknya memberikan fokus khusus pada pemimpin agama, adat, jaringan, dan institusi negara-negara yang banyak terdapat hutan hujan tropis.
Melalui inisiatif tersebut, para pemimpin agama berkomitmen untuk melindungi, memulihkan, dan mengelola hutan hujan tropis dunia secara berkelanjutan untuk manfaat spiritual, lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Pemuka agama dan tokoh masyarakat adat yang hadir berasal dari Brasil, Kongo, Kolombia, Peru, Indonesia, India, dan Afrika Selatan. Selain itu juga dari Israel, Filipina, Myanmas, Vatikan, Norwegia, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Cina.
Dari Indonesia diwakili oleh Din Syamsuddin Syamsuddin (Ketua Center for Dialogue and Cooperation Among Civilizations), Zainal Abidin Bagir (Director Eksekutif Center for Religious and Cross-Cultural Studies, UGM), Abdon Nababan (Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Azis Asman (Direktur Naladwipa Research Institute ) dan Nana Firman (Director Green Faith yang sekarang tinggal di Amerika Serikat).
Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Vidar Helgesen mengatakan sejak 10 tahun lalu negaranya sudah memutuskan untuk mengurangi deforestasi sebagai prioritas intermasional.
Menurut dia, upayanya itu tidak cukup hanya dengan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan kebijakan.
"Ini bukan ranah kebijakan, perdagangan atau sains. Tapi semangat, keyakinan, dan keyakinan moral," ujarnya.
Hutan hujan tropis di Amerika Selatan, Afrika sub-sahara, dan Asia berkurang dengan cepat karena dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit, peternakan sapi, tanaman pangan, dan penebangan liar yang membabi buta. Padahal, hutan hujan tropis memiliki peranan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Keterlibatan masyarakat adat dalam inisiatif ini lantaran memiliki interaksi yang intim dengan hutan hujan. Bahkan, menurut penelitian ilmiah, pemberian hak atas tanah kepada masyarakat adat bisa menjadi solusi murah dan efektif untuk mengatasi deforestasi. Selain itu juga membawa manfaat dan berdimensi sosial, ekonomi dan iklim.
"Penghancuran hutan tropis yang sistematis sering disertai dengan perampasan tanah dan bahkan pembunuhan langsung. Suara masyarakat hutan baru saja mulai terdengar dalam perdebatan kebijakan nasional," ujar Lars Løvold, Director, Rainforest Foundation Norway.
FRISKI RIANA | UWD