TEMPO.CO, Jakarta - Korea Utara telah dijerat berbagai sanksi atau hukuman oleh dunia internasional setelah meluncurkan uji coba sejumlah rudal balistik dan nuklir. Bahkan Korea Selatan menutup kawasan zona industri Kaesong, satu-satunya zona yang mempertemukan dua negara yang terbelah setelah Perang Korea usai.
Dunia internasional berharap sanksi dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun sanksi sepihak Amerika Serikat, Korea Selatan, Cina, dan Jepang akan membuat Korea Utara tak lagi memiliki dana untuk meneruskan percobaan senjata pemusnah massal itu.
Ternyata Korea Utara terus melanjutkan program nuklirnya di tengah hantaman berbagai sanksi politik maupun sanksi ekonomi.
Baca juga: Semenanjung Korea Memanas, Bercermin dari Sejarah Perang Korea
Lalu, bagaimana Korea Utara mengumpulkan uang asing untuk dapat melanjutkan roda perekonomiannya yang diduga diprioritaskan untuk membangun program senjata nuklirnya?
Laporan investigasi Radio Free Asia (RFA) mengungkapkan modus Korea Utara mengumpulkan mata uang asing dengan mengerahkan rakyatnya bekerja ke luar negeri dan pulang membawa uang asing. Selain itu, beberapa media memberitakan tentang jaringan bisnis Korea Utara di negara lain seperti Malaysia. Berikut laporannya.
Baca juga: Cemas Diserang Korea Utara, Penjualan Bunker Melonjak di Jepang
Tanzania
Salah satu negara yang menjadi fokus Korea Utara untuk memperoleh mata uang asing adalah Tanzania, negara kecil di Benua Afrika. Korea Utara mendirikan klinik untuk memberikan layanan kesehatan bagi warga lokal.
Berdasarkan hasil penelusuran RFA, ditemukan sekitar 12 klinik medis Korea Utara di Tanzania. Klinik terbesar terletak di ibukota Dar es Salaam. Klinik-klinik itu mulai dibangun sejak 1991. Jumlah staf medis yang dikirim ke klinik telah berkembang dari 20 orang di tahun 2009 menjadi sekitar 100 orang pada tahun lalu.
Baca juga: Presiden Trump Pilih Perang, Pence: Cara Damai Hadapi Korea Utara
Sebagian besar klinik Korea Utara memberikan perawatan antara jam 8 pagi dan 6 sore serta melayani pengobatan malam hari untuk kasus darurat.
Seorang sumber lokal mengatakan bahwa klinik tersebut menghasilkan sekitar US$ 1 juta hingga 1,3 juta atau Rp 13, 3 miliar hingga Rp 17,3 miliar per tahun. Sekitar 90 persen dari uang yang diperoleh dari seluruh klinik itu dibawa ke penguasa di Pyongyang.
Namun keberadaan klinik medis tidak sepenuhnya bertujuan untuk membantu kesehatan warga setempat. Beberapa sumber menyebutkan keberadaan klinik tersebut murni untuk mencari keuntungan.
Dalam beberapa kasus warga lokal kerap didiagnosa dengan penyakit yang sebenarnya tidak mereka derita. Lalu staf klinik akan memberikan resep obat-obatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan pasien dan diwajibkan harus membayar dengan harga yang cukup tinggi.
Baca juga: Rusia Veto Pernyataan Kutukan Dewan Keamanan PBB ke Korea Utara
Klinik juga diketahui tidak memiliki peralatan medis yang layak dan standar pelayananan yang paling dasar. Beberapa kasus bahkan telah menjadi perhatian pemerintah dan media lokal setempat.
Meskipun kerap bermasalah, namun dikatakan bahwa klinik-klinik Korea Utara mendapat dukungan dan perlindungan dari partai yang berkuasa di Tanzania. Hal itu membuat klinik tersebut terus berjalan hingga saat ini.
Tanzania kekurangan jumlah rumah sakit, apotek, dan staf medis yang memadai. Korea Utara, yang memiliki hubungan jangka panjang dengan Tanzania, telah memanfaatkan kebutuhan tersebut dengan membangun 12 klinik dan mengirimkan sekitar 100 dokter dan perawat setiap tahun.
RADIO FREE ASIA|YON DEMA | MARIA RITA