TEMPO.CO, Ankara--Tanggal 16 April 2017 akan menjadi hari yang bersejarah bagi Turki, dimana rakyat akan menentukan perubahan bersejarah sejak negara itu didirikan Kemal Pasha Ataturk pada 1923 melalui referendum konstitusi Turki.
Rakyat akan diminta untuk memilih apakah setuju atau tidak dengan 18 butir perubahan konstitusi yang telah disepakati parlemen negara itu pada Januari lalu.
Oleh sebagian rakyat Turki dan negara-negara Barat, perubahan ini dianggap kontroversial karena hanya akan menjadikan Erdogan sebagai diktator baru.
Baca: Menteri Diusir,Turki Janji Balas Belanda Dengan Cara Paling Keras
Tak hanya bermasalah di dalam negeri. Referendum konstitusi Turki itu juga mengoyak hubungan dengan Eropa; khususnya Jerman, Belanda dan Austria.
Memburuknya hubungan mereka menyusul larangan dari negara-negara itu terhadap menteri kabinet Turki yang akan melakukan kampanye kepada kaum ekspatriatnya.
Eropa beralasan, kampanye itu akan membuat situasi dalam negeri terganggu mengingat negara-negara itu akan melakukan pemilihan umum, misalnya Belanda.
Baca: Sebut Merkel Pakai Cara Nazi, Jerman Sebut Erdogan Lampaui Batas
Tak terima dengan pelarangan itu, Turki mengecam bahkan menyebut Jerman dan Belanda sebagai fasis dan tengah menghidupkan kembali Nazi gaya baru di Eropa.
Retaknya hubungan itu dimulai ketika Menteri Urusan Keluarga Turki Fatma Betul Sayan Kaya diusir saat sedang berpidato di Rotterdam.
Sebelumnya pemerintah Belanda juga terlebih dahulu melarang pesawat yang ditumpangi Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mendarat di Rotterdam.
Pemerintah Belanda mengatakan izin Cavusoglu dicabut karena keberadaannya di Negeri Bunga Tulip dikhawatirkan mengganggu keamanan di sana.
Sebab, Belanda akan menggelar pemeliharaan umum pada Rabu 15 Maret 2017.
Baca: Setelah Jerman, Erdogan Tuding Belanda Seperti Nazi
Perselisihan politik ini memicu protes, baik di Belanda maupun Turki. Turki menuduh Belanda melanggar Konvensi Wina saat terjadinya bentrok di luar Konsulat Turki di Rotterdam.
Turki kemudian menurunkan hubungan diplomatik terhadap Belanda dengan menunda semua pembicaraan politik tingkat tinggi dan melarang Duta Besar Belanda kembali ke Ankara.
Tak hanya Belanda, beberapa pemimpin negara-negara Uni Eropa juga mengkritik Turki di tengah meningkatnya perselisihan yang disebabkan oleh usaha pemerintah Turki menyelenggarakan rapat umum warganya yang tinggal di negara-negara Eropa.
Warga diaspora Turki memiliki peran sangat vital dalam referendum konstitusi karena jumlah mereka cukup signifikan. Data Turki menunjukkan sebanyak 5,5 juta warga Turki menyebar di seluruh dunia, terutama di Eropa.
Sekitar 3 juta ekspatriat Turki yang memiliki hak suara akan menggunakan hak politiknya di 120 misi diplomatik Turki di 57 negara. Voting yang dimulai sejak akhir Maret di beberaa negara dijadwalkan berakhir pada 9 April.
Maka tak heran jika pemerintah Turki sangat berkepentingan untuk menggelar rapat umum warga Turki di Eropa agar mengerahkan mereka untuk memberi suara 'setuju' pada referendum yang dibuat untuk memperluas kewenangan presiden.
Jerman, Austria dan Denmark juga menentang rapat-rapat umum itu digelar di negara mereka karena khawatir bisa memicu ketegangan.
Baca: Denmark Minta PM Turki Tunda Kunjungan
Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen meminta Perdana Menteri Turki Binali Yildirim menunda lawatannya ke negara itu pada 20 Maret lalu. Ia berdalih khawatir prinsip-prinsip demokrasi berada dalam tekanan besar di Turki.
Menteri Luar Negeri Austria Sebastian Kurz menyebut rapat umum ini bisa meningkatkan friksi dan mempersulit integrasi warga Turki dengan masyarakat Austria.
Sementara pejabat di Jerman sikapnya juga mengeras terhadap Turki. Meski Kanselir Angela Merkel mengatakan pemerintahannya tidak melarang menteri Turki untuk menghadiri rapat umum di Jerman, tapi menteri kabinet Jerman menentangnya.
Sikap Uni Eropa ini mengundang Erdogan berkomentar tajam bahwa semangat Nazi Jerman telah melanda Eropa.
Perseteruan ini juga mengancam potensi Turki bergabung dengan blok ini.
Banyak negara menyebutkan persoalan keamanan sebagai alasan resmi mereka. Mereka juga resah melihat tanggapan Turki terhadap upaya kudeta bulan Juli lalu, dan anggapan adanya pergeseran Turki menjadi negara otoriter di bawah Erdogan melalui referendum konstitusi Turki.
BBC | REUTERS | DW | AFP |YON DEMA | SITA