TEMPO.CO, Caracas - Kebijakan produksi roti murah dan hemat gandum di Venezuela gencar dijalankan. Beberapa pemilik toko roti dan kue ditangkap karena ketahuan memproduksi kue dengan harga mahal dan memboroskan gandum.
Dalam kampanye yang disebut Perang Roti, pemerintah sosialis Presiden Nicolas Maduro mengancam mengambil alih toko roti di Caracas yang membuat makanan berbahan gandum yang mahal. Program itu dilakukan untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda negara itu akibat jatuhnya harga minyak dunia.
Baca juga: Venezuela Resesi, Penukaran Uang 100 Bolivar Berujung Rusuh
Banyak warga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk makanan. Untuk mengatasi hal itu, Maduro memerintahkan agar gandum hanya digunakan untuk membuat roti murah. Gandum tidak untuk membuat penganan yang mahal.
Maduro bahkan menurunkan polisi dan tentara untuk menggeledah toko-toko serta pabrik roti guna menerapkan kebijakan pangan murah. Selama operasi yang dijalankan pekan ini, pemerintah Venezuela telah menangkap empat tukang roti yang kedapatan membuat brownies ilegal dan kue-kue mahal lainn.
Empat orang itu ditangkap dalam operasi yang digelar terhadap sekitar 700 toko roti di sekitar Caracas. Ini untuk menegakkan aturan bahwa 90 persen gandum di dalam sebuah toko roti wajib digunakan untuk membuat roti daripada kue-kue mahal.
Baca juga: Krisis Listrik, Hari Kerja di Venezuela Hanya Senin-Selasa
Dua dari empat orang yang ditahan itu adalah koki pembuat roti yang kedapatan terlalu banyak mencampur gandum dalam roti manis, roti isi daging, dan produk kue mahal lain. Dua lain membuat brownies dengan gandum kedaluarsa.
Seperti dilansir Channel News Asia pada 17 Maret 2017, salah satu toko roti milik orang yang ditahan tersebut telah diambil alih untuk sementara oleh pemerintah selama 90 hari.
Menanggapi penangkapan itu, kelompok yang mewakili tukang roti, Fevipan, telah meminta pertemuan dengan Maduro. Pertemuan itu untuk mengutarakan bahwa produsen roti sulit memenuhi kebutuhan tanpa menjual produk dengan harga yang lebih tinggi.
CHANNEL NEW ASIA | REUTERS | YON DEMA