TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte melarang pesawat yang membawa Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mendarat di Rotterdam hari Sabtu, 12 Maret 2017. Rutte beralasan kehadiran Cavusoglu hanya akan mengancam ketertiban masyarakat.
Cavusoglu ke Rotterdam untuk menghadiri aksi jalan kaki bersama warga Turki di kota itu dan berpidato di hadapan mereka tentang referendum yang akan diadakan pada April mendatang.
Baca juga: Parlemen Golkan Konstitusi Baru, Turki Referendum April Ini
Rutte menjelaskan melalui akun Facebooknya bahwa Turki marah dengan larangan masuk yang diberlakukan untuk Cavusoglu.
"Turki mengancam akan menjatuhkan sanksi jika Cavusoglu ditolak masuk, ini solusi masuk akal tapi tidak mungkin terjadi," kata Rutte seperti dikutip dari Reuters, 11 Maret 2017.
Belanda sendiri akan mengadakan pemilihan pemerintahan baru pada hari Rabu, 15 Maret mendatang. Rutte akan bersaing dengan partai kanan-jauh Partai untuk Kemerdekaan, Geert Wilders. Politisi ini dikenal anti-Islam.
Sehari sebelumnya, 10 Maret, Wali Kota Rotterdam, Ahmed Aboutaleb mempersilahkan Cavusoglu datang namun semua acara jalan kaki bersama dan pidato dibatalkan.
Baca juga: Turki Tahan 2 Pemimpin Partai Oposisi dan 9 Anggota Parlemen
"Dia punya kekebalan diplomatik dan semuanya, sehingga kami akan memperlakukan dirinya dengan hormat, namun kami punya alat untuk melarang sesuatu terjadi di ruang publik," kata Abputaleb mengutip Al Jazeera.
Sebelumnya, Cavusoglu mengatakan akan hadir meski dilarang oleh pemerintah Belanda. Jika tetap dilarang, ujarnya, Turki akan membalasnya dengan menjatuhkan sanksi ekonomi dan politik yang keras.
Delegasi Cavusoglu mengunggah di akun Facebooknya bahwa pertemuan akan diadakan di kediaman pribadi konsul Turki di Rotterdam. Undangan pertemuan meminta para tamu untuk tidak menggunakan mobil atau melambaikan bendera Turki.
Dengan larangan melakukan aksi turun ke jalan berkampanye, Rotterdam bergabung dengan beberapa kota di Eropa yang melarang pertemuan semacam ini karena khawatir terjadi kerusuhan.
Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan menuding Jerman mempraktekkan Nazi setelah mencegah beberapa pemimpin Turki melakukan aksi turun ke jalan di beberapa kota di Jerman. Aksi itu untuk mendukung referendum yang akhirnya memenangkan kembali Erdogan sebagai orang nomor satu di Turki.
REUTERS | AL JAZEERA | MARIA RITA