TEMPO.CO, Ankara - Kerumuman massa di depan pengadilan Turki, Senin, 20 Februari 2017, menuntut 44 tentara pelaku kudeta 15 Juli 2016 dihukum mati.
Para tersangka, yang menolak dikaitkan dengan ulama tersangka di balik kudeta, tampak diangkut dengan bus untuk digelandang ke pengadilan di Aegen, Provinsi Mugla.
Kawasan ini tak jauh dari resot mewah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan keluarganya, yang lolos dari sergapan militer dan kabur dengan helikopter sesaat sebelum hotel tempat mereka tinggal diserang tentara.
"Kami ingin mereka dihukum mati," kata salah seorang demonstran, Zuhal Ayhan, 60 tahun. "Hidupku untuk beliau," ucapnya mengacu kepada Erdogan.
Lebih dari 224 orang tewas selama kudeta gagal pada 15 Juli 2016 ketika sekelompok militer melancarkan serangan dengan tank, jet tempur dan helikopter terhadap gedung parlemen dan gedung pemerintah lainnya.
Pada Senin, 20 Februari 2017, jaksa di Mugla menuntut 44 tersangka -hamppir semuanya tentara- dengan tuduhan berlapis, termasuk mencoba membunuh presiden, melanggar konstitusi dan menjadi anggota organisasi teroris bersenjata.
Pemerintah Turki mengatakan, kudeta ini diarsiteki oleh seorang ulama yang tinggal di Amerika Serikat, Fethullah Gulen. Ulama, yang kini hidup di pengasingan di Pennsylvania sejak 1999, itu menolak tudingan tersebut.
Sejak kudeta gagal, lebih dari 40 ribu orang telah ditahan dan lebih dari 100 ribu orang dipecat atau ditunda kepangkatannya baik dari kalangan militer, sipil, dan perusahaan swasta.
MIDDELE EAST EYE | CHOIRUL AMINUDDIN