Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Eksklusif -Kisah Jurnalis Norwegia Rekam Konflik di 3 Negara  

image-gnews
Anders Somme Hammer. Dok Pribadi
Anders Somme Hammer. Dok Pribadi
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Ini tahun kesepuluh bagi Anders Somme Hammer, pembuat film dokumenter tentang Afganistan, Irak dan Suriah untuk memantapkan langkahnya di jalur dokumenter sejak meliput di Kabul, Afganistan pada tahun 2007.

Sebagai jurnalis independen, Hammer kelahiran Norwegia, 20 Agustus 1977 berpikir perang tidak bisa diceritakan hanya lewat tulisan saja. Melainkan dengan film juga. “Dalam perang, sulit untuk mengatakan bahwa yang ini benar dan yang satu lagi salah. Tapi lewat film, penonton bisa menentukan sendiri,” kata Anders yang turut menyutradarai Exit Afghanistan ini.

Sekitar 10 film telah dibuatnya yang juga bekerja sama dengan beberapa penduduk setempat di Afganistan, suku Kurdi yang mengungsi di Norwegia, dan TV swasta Norwegia. Tahun ini, 2 filmnya akan diluncurkan di Amerika Serikat dan Inggris. “Film yang saya buat di Irak dan Suriah,” kata dia yang ditemui Tempo, di Djournal Café, Grand Indonesia, Jakarta, Senin, 30 Januari 2016.

Hammer menjadi salah satu pembicara di Global Inter Media Dialogue di Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan Oslo Akershus University, 23-25 Januari 2017. Kegiatan ini diikuti sekitar 50 peserta dari Inggris, Norwegia, Turki, Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Irak, Iran, Mesir, Tunisia, Suriah dan Indonesia yang membahas antara lain tentang kebebasan berekspresi.

Selain menyutradarai film, ia juga menulis buku tentang perang. “Saya melakukan keduanya, karena film dan menulis menunjukkan sesuatu yang berbeda. Dan saya juga berpikir, lewat film kita dapat menjangkau banyak orang dibandingkan menulis buku, “ kata Master bidang Perdamaian dan Konflik ini.

Selama 1,5 jam ia menerima wawancara wartawan Tempo Martha Warta Silaban dan fotografer Franoto dalam suasana hangat yang kadang disertai tawa kecil. Ia menyeruput dua gelas kopi, yang diselingi dengan santap siang dan sebotol air mineral.

Bagaimana prosesnya sehingga Anda membuat film dokumenter tentang Afganistan, Irak dan Suriah?
Ini adalah tahun kesepuluh bagi saya (membuat film) sejak pergi meliput pertama kali ke Afganistan pada 2007 sebagai jurnalis independen. Sebelumnya saya adalah wartawan Koran (2000-2007). Pada awalnya sulit untuk berbicara dengan penduduk sekitar dan melihat bagaimana mereka hidup. Saya perlu usaha lebih untuk dapat pergi ke pedesaan-pedesaan di Afganistan. Karena masalah yang paling besar di Afganistan, Irak dan Suriah adalah keamanan. Sebaliknya sangat mudah kalau saya ke Ibu Kota (Kabul). Dan juga urusan logistik.

Dan karena saya membuat film dokumenter, saya mulai mengikuti langkah orang-orang setempat, duduk dan memperhatikan kehidupan mereka, kemudian bersama mereka dalam beberapa situasi dan mengatur waktu untuk bersama dengan mereka untuk membuat film. Itu sangat memakan waktu. Dari tiap-tiap negara konflik dengan pendekatan yang tidak sama.

Sudah berapa film yang Anda buat dalam 10 tahun tersebut?
Lebih dari 10 film. Saya menyutradarai salah satu seri dokumenter “Exit Afghanistan”, yang diterbitkan Norwegian Broadcasting Company. Versi Internasionalnya meraih juara “Prix Italia” 2014 dan tersedia di Netflix. Dan tengah menyiapkan 2 film saya tentang Irak dan Suriah yang akan diluncurkan di Amerika Serikat dan Inggris tahun ini.

Saya juga menyutradarai 5 film untuk program investigasi”NRK Brennpunkt”(mirip BBC Panorama), yakni Våre allierte (2016) (dari Suriah dan Irak); Talibanistan (2016) (dari Afghanistan); Fra Veitvet til IS-fronten (2015) (From Veitvet to the ISIS Front); Terroristen fra Larvik (2014) (dari Kenya dan Norwegia); Hvem drepte Siri og Joakim? (disutradarai bersama warga Swedia Jesper Huor 2012) ( dari Afganistan)

Saya membuat serial dokumenter tentang pemain nasional sepak bola wanita Afganistan dalam empat episode yang diterbitkan Koran Norwegia (online): Aftenposten, Bergens Tidende og Stavanger Aftenblad (2011).

Saya menyutradarai dokumenter ” This is Kabul” bersama dengan Nargis Azaryun, Sadaf og Sahar Fetrat and Christoffer Næss (2014). Kami juga membuat film pendek berjudul ”Kabul Cards”: https://vimeo.com/channels/263361

Apa yang menjadi tujuan dari pembuatan film-film dokumenter ini?
Media secara global mengalami krisis, tapi kesempatan luas terbuka untuk membuat film dokumenter karena dapat disiarkan secara online juga. Jadi banyak proyek-proyek baru. Saya sekarang kerja untuk pembuatan film Irak dan Suriah untuk disiarkan di Amerika dan Inggris. Dan akan disiarkan secara online juga (net documentaries).

Apa yang menyebabkan Anda memasarkan film itu ke Amerika dan Inggris?
Amerika memiliki perusahaan-perusahaan besar untuk film dokumenter dibandingkan di Norwegia. Jika saya bisa bekerja di luar negeri, maka bisa menyasar penonton di dunia lebih luas lagi.

Bagaimana cara Anda mengambil gambar di tengah perang?
Saya bersama tentara. Di Afganistan ada 750 tentara Norwegia yang tergabung dengan NATO saat itu. Namun saya juga pernah bersama orang Kurdi yang berperang melawan ISIS. Dan saya makan, tidur bersama mereka yang menembaki lawan. Karena saya ingin melihat reaksi dari mereka. Ketika itu saya membuat film dokumenter “From Veitvet to the ISIS Front”. Saya bersama seorang anak muda dari suku Kurdi (Irak) —yang dulunya mengungsi di Norwegia. Ia dan keluarganya tinggal di Veitvet, Norwegia. Anak muda berusia 27 tahun itu kemudian ikut perang melawan ISIS. Film ini didanai dari uang saya sendiri yang hasilnya kemudian saya jual ke stasiun televisi.

Untuk film This Is Kabul, siapakah yang mengkonsep film ini?
Dalam film itu, kami bekerja dengan tiga perempuan muda Afganistan yang kemudian mereka memfilmkan kegiatannya selama 2 tahun. Dimulai dari workshop yang membahas tentang teknik pembuatan film yang sederhana dan kemudian mereka membuat filmnya sendiri. Kalau di perang, sudah biasa membuat cerita tentang tentara tetapi di sini saya membuat film tentang kehidupan sehari-hari orang Afganistan dari sudut pandang anak muda. Karena di sana banyak orang tua sebagai penentu kebijakan. Mereka menggunakan kamera kecil seperti ponsel pintar, kemudian memfilmkan. Lalu kami bertemu, berdiskusi, membahas lama panjangnya film. Lalu kami edit untuk dimasukkan ke YouTube. Topiknya tentang gender, bagaimana anak-anak muda ingin membuat perubahan sosial. Terutama tentang perempuan muda. Ini cerita segar tentang anak muda Afganistan.

Mengapa memilih topik itu?
Menurut saya, cerita perang terlalu sedih, tapi cerita lain tentang kehidupan masyarakat yang mengalami perang memberikan kisah yang kuat, ada harapan baru. Meskipun kehidupan mereka sulit, tapi ingin membuat sesuatu perubahan. Mereka melakukan hal yang positif dalam film ini. Dan saya juga membuat film tentang serial tim sepak bola nasional wanita Afganistan untuk disiarkan di Koran (online).

Bagaimana dengan dampak dari film “This is Kabul” tersebut?
Mereka senang. Karena mereka ingin orang banyak tahu tentang kondisi perempuan di sana. Kebanyakan cerita tentang Afganistan adalah tentang tentara. Tetapi di film ini, mereka bercerita tentang perempuan muda. Dan bila menceritakan tentang perempuan bukan hanya mereka, tetapi juga Anda (perempuan), duta besar, politikus.

Mengapa Anda sebagai orang Norwegia tertarik untuk membuat film tentang Afganistan?
Saya sangat suka film, karena dapat menyalurkan perasaan dalam cara yang berbeda. Karena dalam perang sangat sulit untuk mengatakan bahwa hal yang ini benar dan yang satu lagi salah, atau di antaranya. Tapi ketika mereka menonton film, penonton bisa menentukan sendiri. Dan sebenarnya saya juga menulis buku tentang Afganistan (dalam bahasa Norwegia). Jadi saya melakukan keduanya. Jadi seperti orang Indonesia yang tidak membaca buku saya dalam bahasa Norwegia, dapat menyaksikan film saya di Netflix dan You Tube. Film dapat menjangkau lebih banyak orang, seperti orang Indonesia bisa menonton film saya. Dan saya juga kadang-kadang membuat radio dokumenter.

Kenapa Anda tertarik dengan negara-negara yang dilanda  konflik?
Ketika saya berusia 12 tahun, saya bersama keluarga pergi Irlandia Utara. Di sana ada perang saudara, antara Kristen dan Katolik (Perang Salib). Saya pergi ke Belfast, dan setiap tahun saya kembali untuk bertemu keluarga kadang-kadang saat Natal atau Tahun Baru atau liburan sekolah. Dan saya melihat helikopter dan tentara di mana-mana. Dan ketika itu saya berpikir, saya yang datang dari tempat yang penuh damai (Norwegia) ke daerah perang. Di situ saya belajar tentang perang. Dan ketika saya ke Afganistan, saya seperti merasakan kembali pengalaman masa kecil saya di Belfast, Irlandia Utara, di mana ada helikopter berputar-putar di udara (tersenyum).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah ada perbedaan kondisi dari ketiga negara (Afganistan, Irak, dan Suriah)?
Beda sekali. Perang di Afganistan terjadi ketika masyarakat itu belum maju. Hidupnya sederhana, teknologi rendah, sedikit toko, masyarakat bertani untuk menghidupi diri sendiri, memelihara ternak. Bahkan di pedesaaan Afganistan, mereka hidup sangat miskin. Sedangkan di Irak dan Suriah, perang terjadi ketika negara itu sudah berkembang. Di sana ada listrik, air, dan rumah-rumah permanen. Bahkan di sebagian daerahnya, seperti di Baghdad atau Irak Utara ada juga mal. Cuma di sana berbahaya, sering ada bom.

Dalam membuat film di tiga negara konflik tersebut, apakah Anda menggunakan bahasa lokal?
Saya mampu berbicara sedikit Dari (lokal Afganistan) dan mengerti sedikit Pashtun (lokal Afganistan) dan bahasa Arab. Saya dibantu penerjemah jika diperlukan.

Siapa yang membiayai film-film Anda?
Kalau saya kerja untuk perusahaan, maka mereka akan membayar pekerjaan saya. Misalkan perusahaan televisi. Saya juga mendapatkan dana dari Film Funds untuk dokumenter. Karena untuk membuat film perlu biaya yang besar. Dan untuk menulis buku pun saya mendapatkan beasiswa. Saya dapat beasiswa selama 3 tahun untuk membuat buku dari organisasi penulis di Norwegia. Di Norwegia ada 2 organisasi penulis untuk fiksi dan dokumenter, fakta dan pendidikan. Kalau mereka tertarik, maka saya mendapatkan beasiswa. Dan saya dalam tiga tahun ini mendapatkan beasiswa. Saya membuat buku tentang perang dan dokumenter.

Ketika menjadi seorang jurnalis, pengalaman terberat apa yang Anda alami saat meliput di negara-negara konflik?
Ketika melihat korban tewas di sekitar saya. Karena banyak serangan di sana. Orang mati dibunuh, ditembak, dibom. Kadang-kadang ada juga yang melakukan bom bunuh diri. Saya juga merakan goncangan tubuh karena ada bom. Dan juga kehilangan teman: orang-orang yang bekerja bersama di lapangan. Dan saya melihat banyak orang dibunuh di Afganistan.

Mengapa Anda memilih menjadi jurnalis independen untuk mendokumentasikan film dari 2007-2017?
Karena bagi saya cukup sulit untuk membuat berita tentang perang. Karena beberapa format beritanya harus singkat dan cenderung berulang-ulang, kadang-kadang terjadi sesuatu yang dramatis tapi standar. Tapi ternyata ada hal-hal penting yang mungkin bukan berita. Seperti film “This is Kabul”, yang menceritakan bahwa orang peduli dengan orang lain. Dan Anda dapat membuat berita itu lebih dalam. Dan bagi saya, berita kadang-kadang penuh dengan opini. Tapi dalam film dokumenter, kita menceritakan kisah orang-orang yang berada di dalam perang. Pengalaman dramatis.

Perlengkapan apa saja yang digunakan untuk membuat film dokumenter?
Saya menggunakan video kamera dan kamera biasa (still camera). Tapi karena di sana cuacanya (hangat) panas dan berdebu, banyak pasir di lapangan (Afganistan, Irak dan Suriah). Jadi biasanya 1,5 tahun sekali saya mengganti kamera. Karena debu di mana-mana. Dan akhir tahun lalu, saya sedang membuat film dan Taliban menembak. Kemudian saya jatuhkan kamera saat berlari. Kamera itu rusak. Jadi itu bisa saja terjadi. Dan harga kamera itu mahal. Tapi saya mendapatkan dukungan dari Lembaga Kebebasan Berpendapat Norwegia (Fritt Ord). Mereka memberikan uang kepada saya untuk membeli perlengkapan lagi. Saya mengajukan permohonan bahwa akan pergi ke Irak, Suriah dan Afganistan untuk membuat film dokumenter dan saya perlu beberapa kamera yang mungkin kondisinya hanya akan bertahan dalam waktu singkat karena faktor cuaca. Lalu mereka memberikan saya uang. Biasanya uang diberikan kepada jurnalis independen. Solusi yang sangat fantastis! Lalu saya membuat film, dan melaporkannya kepada mereka serta mengucapkan terima kasih. Menurut saya lembaga ini sangat penting untuk mengembangkan diri saya tanpa perlu menjadi karyawan stasiun televisi. Saya bisa menjadi bos bagi diri sendiri.

Lalu bagaimana Anda belajar untuk memasarkan produk filmmu?
Karena kebutuhan (tertawa). Karena waktu saya ke Afganistan pertama kali, belum ada jurnalis Norwegia yang ke sana. Saya lah yang pertama membuat film di Afganistan. Dan saya harus tahu caranya sendiri. Jadi perlu waktu bertahun-tahun sehingga saya paham bagaimana dapat bekerja membuat film itu sendiri. Tapi seiring waktu dan proyek, saya dapat berkembang. Saya membuat film dengan cerita yang berbeda-beda.

Menurut Anda, berapa lama waktu yang ideal untuk membuat film dokumenter?
Biasanya 12 bulan. Atau bahkan bisa 1,5 tahun saya membuat satu film, karena harus riset dulu.

Apakah Anda masih berkomunikasi dengan orang-orang di Afganistan usai pembuatan film?
Ya setiap hari. Saya tetap menjalin hubungan dengan orang-orang di Irak juga. Karena dalam membuat film dokumenter saya harus berkomunikasi dengan mereka secara terus-menerus. Karena saya mungkin kembali lagi. Mungkin setelah setahun kemudian, untuk melihat kondisi mereka kembali yang mungkin ada perubahan.

Kapan film Irak dan Suriah itu akan diluncurkan di Inggris dan Amerika?
Pertama pada musim semi ini. Untuk serial pertama mungkin akan dikeluarkan dalam dua bulan ini, tapi keputusannya bukan di saya.

Bagaimana kerja sama dengan Inggris dan Amerika Serikat untuk serial Irak dan Suriah Anda?
Perusahaan di sana ada yang menyukai karya dokumenter saya. Pertama, saya kirim pilot project-nya dan ternyata mereka suka. Lalu mereka membayarnya.

Kenapa Amerika tertarik dengan film Anda?
Mungkin mereka belum punya film yang seperti saya buat. Seperti film ini. Pada dasarnya saat membuat film dokumenter harus ada cerita yang berbeda. Dan kepanjangan dari filmnya (footage-nya). Tahun ini saya hanya akan membuat untuk Irak dan Suriah. Dan musim gugur, saya akan kembali ke Afganistan.

Bagaimana Anda menggambarkan kebebasan berekspresi di Afganistan?
Biasanya di Afganistan, laki-laki tua yang berbicara dan punya kekuasaan. Padahal sebenarnya di sana ada 75 persen penduduk yang usianya di bawah 25 tahun. Mereka sangat muda. Tantangannya sebagai jurnalis pada saat itu adalah bagaimana bicara dengan mereka, bagaimana bicara mengenai kehidupan mereka. Hal itu yang saya gambarkan dalam film, misalkan tentang kondisi perempuan di Afganistan. Dan itu saya sampaikan di konferensi Global Inter Media Dialogue di Universitas Indonesia.

Apakah kamu menemukan kebebasan berpendapat di Irak dan Suriah?
Dalam beberapa hal. Tetapi ketika terjadi perang, ada banyak pembatasan. Hanya bagi orang yang mempunyai kekuasaan dan kaya saja. Tetapi bagi yang miskin, tidak bisa. Tetapi sekarang orang sudah mulai merekam diri mereka sendiri lalu menayangkannya lewat ponsel pintar. Di satu sisi menarik, tapi juga dilema. Karena hanya dikontrol oleh sekelompok orang. Cuma bahayanya bisa menjadi propaganda. Karena bukan dilakukan oleh jurnalis. Ada kontrol yang lemah di sana.

BIODATA
Nama : Anders Somme Hammer
Tempat tanggal lahir: Norwegia, 20 Agustus 1977
Pendidikan: Bachelor Political Science, Development and Journalism
Masters Peace and Conflict Studies
Pekerjaan:
2000-2007 (Wartawan media cetak di Norwegia)
2007-2017 (Jurnalis independen, Sutradara film dokumenter)
2017-sekarang (Sutradara film dokumenter, Penulis buku)
Penghargaan: The Year Freelancer (2011), Fritt Ord Award Norwegia--Freedom of Expression Award (2011), Prix Italia (2014), Great Journalist yang bekerja di daerah konflik dan perang (2014)

Film:
- Film Exit Afghanistan yang disutradarai bersama dengan Olav Njaastad, Klaus Erik Okstad, dan Marius Arnesen
- 5 film investigasi ”NRK Brennpunkt”(mirip BBC Panorama), yakni Våre allierte (2016) (dari Suriah dan Irak); Talibanistan (2016) (dari Afganistan); Fra Veitvet til IS-fronten (2015) (dari Irak); Terroristen fra Larvik (2014) (dari Kenya dan Norwegia); Hvem drepte Siri og Joakim? (disutradarai bersama warga Swedia Jesper Huor 2012) (dari Afghanistan)
- Film serial dokumenter tentang pemain nasional sepak bola perempuan Afganistan dalam empat episode, yang diterbitkan Koran Norwegia (online): Aftenposten, Bergens Tidende og Stavanger Aftenblad (2011).
- Film dokumenter ” This is Kabul” bersama dengan Nargis Azaryun, Sadaf dan Sahar Fetrat serta Christoffer Næss (2014).
- Film pendek berjudul ”Kabul Cards”

Buku :
- Drommekrigen (2010)
- Heia Kabul! (2013)
- Alt Dette Kunne Vaert Unngatt (2014) bersama Carsten Jensen

MARTHA WARTA SILABAN

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Pembawa Acara Talk Show Politik Populer Pakistan Diskors karena Kritik Militer

1 Juni 2021

Hamid Mir saat membawakan program di studi pada 2010.[Geo TV/Wikimedia]
Pembawa Acara Talk Show Politik Populer Pakistan Diskors karena Kritik Militer

Hamid Mir, jurnalis ternama dan pembawa acara talk show politik populer di Pakistan, diskors setelah mengkritik militer dan mendukung sesama jurnalis.


AJI Jakarta Kecam Kekerasan terhadap Jurnalis di Munajat 212

22 Februari 2019

Peserta Munajat 212 mulai memadati area Monumen Nasional, Jakarta Pusat, 21 Februari 2019. Tempo/Imam Hamdi
AJI Jakarta Kecam Kekerasan terhadap Jurnalis di Munajat 212

AJI Jakarta mengutuk aksi kekerasan dan intimidasi oleh massa FPI terhadap jurnalis yang sedang liputan di acara Munajat 212.


AJI Jakarta Kecam Intimidasi Terhadap Jurnalis Detikcom

5 November 2018

Peserta aksi 211 berunjuk rasa memprotes pembakaran bendera bertulisan kalimat tauhid di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Jumat, 2 November 2018. Aksi kali ini awalnya akan digelar di depan Istana Negara, tapi mendapat penghadangan dari polisi sehingga dipindahkan ke Patung Kuda. ANTARA/Muhammad Adimaja
AJI Jakarta Kecam Intimidasi Terhadap Jurnalis Detikcom

Menurut Ketua AJI Jakarta, intimidasi terhadap jurnalis seperti itu telah mengancam kebebasan pers.


Dukung Jurnalis Investigasi, ICIJ Luncurkan ICIJ Insiders

20 Juni 2018

Panama Papers. bbc.com
Dukung Jurnalis Investigasi, ICIJ Luncurkan ICIJ Insiders

International Consortium of Investigative Journalism (ICIJ) membuka program untuk para pendonor yang disebut ICIJ Insiders.


Bagi Jurnalis, Honduras Negeri Paling Bahaya di Amerika

4 Mei 2018

Polisi anti huru-hara mendekati sepeda motor yang dibakar oleh pengunjuk rasa saat terjadinya bentrokan antara demonstran dengan polisi dalam perayaan Hari Buruh Internasional atau May Day 2018 di Tegucigalpa, Honduras, 1 Mei 2018. (AP Photo/Fernando Antonio)
Bagi Jurnalis, Honduras Negeri Paling Bahaya di Amerika

Honduras adalah negeri paling bahaya di Amerika Selatan bagi jurnalis. Pelecehan dan panggilan telepon gelap kerap diamali jurnalis.


Hari Pers Dunia, Jurnalis Mesir Terima Penghargaan dalam Penjara

3 Mei 2018

Mesir Adili 20 Wartawan
Hari Pers Dunia, Jurnalis Mesir Terima Penghargaan dalam Penjara

Memperingati hari pers dunia, jurnalis foto mesir, Shawkan, mendapat penghargaan World Press Freedom dari UNESCO ketika ia menjalani penahanan.


Jurnalis TV Bacakan Deklarasi Pilkada yang Damai dan Bebas SARA

3 Maret 2018

Anggota Dewan Pers, Imam wahyudi (kiri) dan CEO Cyrus Network, Hasan Nasbi dalam acara #DiskusiRuangTengah di Kantor Tempo, Jakarta, 2 Juni 2016. Tempo/ Aditia Noviansyah
Jurnalis TV Bacakan Deklarasi Pilkada yang Damai dan Bebas SARA

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mendeklarasikan janji pemilihan kepala daerah atau pilkada yang damai, bebas konten SARA.


Intimidasi terhadap Jurnalis BBC yang Meliput di Papua, Dikecam

5 Februari 2018

Jurnalis BBC dan staf, menggelar unjuk rasa dengan berdiam selama satu menit di  gedung New Broadcasting House, London, 24 Juni 2014. Aksi ini untuk mendukung tiga wartawan yang dipenjara di Mesir (AP).
Intimidasi terhadap Jurnalis BBC yang Meliput di Papua, Dikecam

Tiga jurnalis BBC Indonesia diusir saat meliput wabah campak dan busung lapar di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua, karena cuitan di Twitter.


Polri Belum Terima Investigasi Pengusiran Wartawan BBC dari Papua

4 Februari 2018

Ketua Kontingen (Cdm) Indonesia untuk Asian Games 2018, Komjen Syafruddin, meninjau pelatnas bulu tangkis di Jakarta, Rabu, 16 Januari 2018. ANTARA /Akbar Nugroho Gumay
Polri Belum Terima Investigasi Pengusiran Wartawan BBC dari Papua

Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan belum menerima hasil investigasi terhadap pemulangan kontributor dan wartawan BBC dari Papua.


Jurnalis Top New York Times Diskors Gara-gara Lecehkan Reporter

21 November 2017

The New York Times
Jurnalis Top New York Times Diskors Gara-gara Lecehkan Reporter

Jurnalis politik terkemuka New York Times diskors karena tuduhan melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa reporter wanita muda.