TEMPO.CO, Gaza - "Saya seperti seekor burung dalam sangkar," ucap Hind Shaheen, membuka kata kepada Al Jazeera ketika menemui perempuan itu di rumah sakit.
Dia tergolek lemas di kasur rumah sakit Al-Rantisi di Gaza, yang dikeliling anggota keluarganya. "Di luar sangkarku, saya melihat air dan makanan tetapi saya tak dapat menjangkaunya. Inilah kondisiku sesungguhnya."
Shahin yang menderita kanker payudara mengatakan bahwa kondisinya kian memburuk sejak dia dilarang berobat keluar dari Gaza.
Jalur Gaza tidak memiliki fasilitas kesehatan memadai untuk memberikan pengobatan kepada Shahin. Namun dia tidak bisa pergi keluar untuk berobat sejak Israel melarang warga Palestina melintasi perbatasan Erez yang dikenal juga dengan pintu Beit Hanoon.
"Otoritas Israel menolak izin yang pernah saya ajukan tiga kali tanpa penjelasan," ucapnya kepada Al Jazeera.
Jalur Gaza di bawah blokade Israel dan Mesir sejak 2007. Adapun Erez adalah checkpoint pintu gerbang utama bagi dua juta penduduk Gaza yang menghubungkan mereka untuk keperluan perawatan kesehatan di Israel dan Tepi Barat.
"Aku juga tidak pergi ke Mesir, sekalipun. Perbatasan di sana ditutup selama tiga-empat bulan, sehingga saya bakal terjebak di sana," ujar Shaheen.
Perjuangan dia sama persis dialami oleh ribuan pasien di Gaza, dimana sekitar 1.500 orang terkena kanker setiap tahun. Di kawasan ini tidak tersedia perlatan untuk kemoterapi, radioterapi, terapi molekul, PET scan atau isotope scan.
Gisha, dari Legal Centre for Freedom of Movement, mengatakan, pasien di Gaza semakin meningkat sejak Israel menerapkan aturan ketat demi keamanan.
Banyak pula pasien yang harus menjalani intrograsi ketika melintas perbatasan sehingga memaksa mereka menunggu waktu lama untuk mendapatkan respons otoritas Israel.
Menurut data organsasi kesehatan dunia (WHO) rata-rata persetujuan izin keluardari Gaza drop hingga 44 persen pada Okfober 2016, bandingkan dengan periode 2014 mencapai 82 persen. Bahkan ketika 2012, izin yang dikeluarkan Israel 93 persen.
AL JAZEERA | CHOIRUL AMINUDDIN