TEMPO.CO, Manila- Partai Komunis Filipina (CPP) pekan ini mengungkapkan rasa kecewanya terhadap pemerintahan Rodrigo Duterte yang dituduh ingkar janji. Sudah tujuh bulan menjadi presiden, Duterte belum memenuhi janji-janji kampanyenya. Ahasil gencatan senjata yang dibuat sejak 26 Agustus 2016 dihentikan secara sepihak oleh CPP. Perang gerilya pun kembali dilakukan.
Bagaimana sebenarnya sejarah lahirnya CPP di Filipina yang dikenal dengan perang gerilyanya yang sudah menelan ratusan bahkan ribuan korban?
Partai Komunis Filipina atau CPP mendasarkan gerakan mereka pada paham Maoisme yakni paham yang berasal dari ajaran pemimpin komunis Cina, Mao Zedong yang berakar pada Marxisme. CPP telah dibentuk sejak lama, bahkan sebelum Filipina merdeka.
Berita terkait:
Ribut PKI, Pemberontak Komunis Filipina Dirangkul Duterte
Filipina Minta AS Hapus Nama Pemimpin Maoist Sebagai Teroris
Pemberontak Komunis Filipina Lanjutkan Perang Gerilya
CPP awalnya dibentuk untuk melawan invasi Jepang pada Perang Dunia II. Namun setelah Filipina mendapat kemerdekaan dari Amerika Serikat, kelompok kiri itu kian tersudutkan bahkan terancam dibasmi. Sejak itu mereka terus bergerilya di daerah-daerah pinggiran dan hutan untuk memberontak.
Tepat pada Desember 1968, bersamaan dengan ulang tahun pemimpin revolusi Cina, Mao, CPP yang tak terorganisir baik kembali dibentuk. CPP kemudian bertahan hingga kini di bawah pimpinan Jose Maria Sison.
Dalam mendukung gerakannya, CPP kemudian mendirikan sayap militernya yang disebut dengan Tentara Rakyat Baru atau disingkat NPA pada tahun 1969 atau tiga bulan setelah Sison mendirikan CPP.
Sejak itu, CPP bersama NPA terus melakukan pergerakan untuk melawan pemerintah Filipina yang dituduh telah dikendalikan oleh Amerika Serikat.
Kekuatan NPA bertambah besar setelah Ferdinand Marcos berkuasa dan memberlakukan darurat militer di Filipina pada 1972. NPA kemudian mendirikan kamp di hutan-hutan dan meluncurkan serangan yang menargetkan militer dan polisi serta pasukan AS.
Selama pemberontakannya, tercatat sebanyak 150 ribu orang, baik dari militer, polisi, NPA dan warga sipil tewas. Pemberontakan yang membuat Sison ditangkap tersebut dikatakan sebagai penghambat laju pertumbuhan ekonomi Filipina.
CPP sempat berjaya setelah berhasil memboikot pemilu pada 1986 dan menggulingkan Marcos. Kekuasaan Filipina kemudian berpindah ke tangan Presiden Corazon Aquino.
Corazon kemudian membebaskan Sison untuk melakukan pembicaraan damai, namun Sison justru melarikan diri ke Belanda dan tinggal di sana sebagai pelarian politik.
Sepeninggalan Sison ke Belanda, perpecahan mulai terjadi di dalam tubuh CPP pada awal 1990-an. Perbedaan strategi menyebabkan perpecahan di jajaran pemberontak dan pembersihan internal berdarah yang menewaskan ratusan orang.
Perpecahan itu menyebabkan pelemahan kekuatan NPA, dimana dari puluhan ribu pasukan, tersisa hanya ribuan saja. Para pejuang yang tersisa mengandalkan pajak revolusioner untuk bertahan hidup serta memeras uang dari pengusaha. Kekerasan terhadap warga sipil dan polisi pun tak terelakan sejak itu.
Pada 1995 pemerintah membuka kembali pembicaraan damai, beberapa kesepakatan seperti HAM dan kemanusiaan tercipta saat itu. Namun negosiasi damai runtuh pada 2001, setelah pemerintah Filipina, AS dan Uni Eropa menetapkan CPP dan NPA sebagai organisasi teroris dan Sison masuk daftar teroris AS.
Pembicaraan damai kemudian baru dibuka kembali pada saat presIden Duterte berkuasa, dimana beberapa tokoh CPP dijanjikan masuk dalam kabinet, tahanan politik dibebaskan, Maoist dihapus dari daftar teroris dan Sison sepenuhnya dibebaskan.
CPP yang eksis hingga saat ini menjadikannya sebagai organisasi pemberontakan terlama di Asia.
INQUIRER|YON DEMA