TEMPO.CO, Kabul - Di puncak gunung bersalju di Ibu Kota Kabul bagian barat, sekelompok gadis Afganistan berlatih gerakan wushu, olahraga yang dikembangkan dari seni bela diri kung fu.
Dengan mengenakan baju merah jambu lengkap dengan penutup kepala atau hijab, gadis-gadis tersebut melakukan gerakan peregangan, pelenturan, dan hunjaman pedang ke udara.
Baca: Arnold Schwarzenegger Ajak Donald Trump Tukar Pekerjaan
Di antara gadis-gadis usia belasan tersebut, terdapat seorang wanita yang usianya sedikit lebih tua dari mereka dan posturnya lebih besar.
Dialah Sima Azimi, remaja 20 tahun yang menjadi pelatih sekaligus pemilik perguruan wushu di negara yang membatasi pergerakan kaum Hawa.
Shaolin Wushu Club yang berada Kota Kabul, pusat tempat tinggal komunitas etnis Syiah Hazara, merupakan pengecualian yang langka.
Menurut Azimi, wushu tidak hanya mengajarkan bela diri, tapi juga menyehatkan tubuh dan jiwa. Azimi mulai mempelajari wushu sejak tinggal di Iran. Di negara itu, dia memenangi medali emas dan perunggu dalam kompetisi.
Dia kemudian memutuskan pindah ke Kabul dan membuka pelatihan seni bela diri tersebut setelah didorong ayahnya. Kini kegiatannya tersebut telah berjalan selama setahun.
"Aku mengajarkan gadis-gadis Afghanistan untuk menguatkan kemampuan mereka, sehingga gadis-gadis itu dapat meningkatkan diri mereka sebagaimana gadis-gadis lain di dunia," ucap Azimi.
"Ambisiku adalah melihat murid-muridku bisa ikut bagian dalam kejuaraan internasional dan memenangi medali untuk negara mereka."
Seni bela diri adalah salah satu olahraga yang populer di Kabul. Tapi cukup sulit bagi anak-anak yang ingin bergabung dengan Grup Shaolin Wushu karena takut terhadap berbagai gangguan, termasuk pelecehan dan kekerasan lain.
"Tantangan terbesar yang kita hadapi adalah tidak aman," ujar Zahra Timori, 18 tahun. "Kami sulit pergi ke klub karena masalah ini."
Gadis-gadis itu berharap olahraga ini dapat menciptakan suasana yang lebih aman di Afganistan, melawan kenyataan sehari-hari yang harus mereka hadapi.
Rahmatullah Azimi, ayah Sima, berharap suatu saat nanti anak-anak perempuan dari etnis selain Hazara juga dapat bergabung di padepokannya.
REUTERS | YON DEMA