TEMPO.CO, Jakarta -Sekitar 50 akademisi, aktivis dan jurnalis dari berbagai negara berdiskusi membahas kebebasan berekspresi. Mereka berasal dari Norwegia, Inggris, Malaysia, Turki, Tunisia, Bangladesh, Pakistan, Afganistan, Irak, Iran, Suriah, Mesir, Indonesia serta perwakilan UNESCO di Jakarta.
Kegiatan yang diselenggarakan Universitas Indonesia bekerja sama dengan Universitas Akershus Oslo Norwegia mengangkat topik "Ten Years Debating Freedom of Expression" Global Inter Media, di Auditorium Juwono Sudarsono, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Depok, 23-25 Januari 2017.
Baca juga:
Jurnalis Arab Desak Mesir Bebaskan Wartawan Al Jazeera
Turki Tutup Puluhan Organisasi Media
Di Turki: 107 Jurnalis Dipenjara, 155 Media Ditutup
Seminar dibuka dengan diskusi panel bertopik "Looking Back, Looking Forward: Globalizing Freedom of Expression," yang dibawakan oleh Profesor Elisabeth Eide, Direktur Departeman Jurnalisme dan Studi Media di Universitas Akershus Oslo; Doktor Ade Armando, dosen Komunikasi Universitas Indonesia; Bambang Harymurti, Komisaris PT Inti Media Harian; dan Atta Ansari, jurnalis dokumententer Norwegian Broadcasting Corporation.
Elisabeth mengatakan konferensi ini digelar kembali di Indonesia setelah 10 tahun lalu diadakan pertama kali pasca kontroversi kartun Nabi Muhammad di media Denmark, Jyllands-Posten, pada September 2005. Konferensi digelar setahun kemudian. "Kami mengajak akademisi, jurnalis dan editor dari berbagai negara untuk berdialog memahami isu-isu kebebasan berekspresi," kata Elisabeth.
Ia menyatakan iklim politik di berbagai belahan dunia dipengaruhi oleh kontroversi 12 kartun Nabi Muhammad tersebut yang kemudian menyebar menjadi isu global. “Beberapa bulan setelah itu, beberapa kartun dicetak di Mesir dan Prancis. Bahkan memunculkan reaksi kekerasan di Nigeria, Libya, Afganistan dan Pakistan, “ kata Elisabeth yang menggagas pertemuan ini.
Menurutnya, kebebasan berekspresi dijamin di Pasal 19 deklarasi PBB. Namun di satu sisi kebebasan itu harus bertanggung jawab. “Karena kita hidup saling tergantung satu sama lain dengan latar belakang suku dan keyakinan berbeda,” kata dia yang juga menggelar pertemuan serupa di Asia Selatan dan Timur Tengah.
Namun kehadiran media Internet dan media sosial tidak dapat dipungkiri memicu begitu cepatnya penyebaran informasi, yang semula bersifat nasional menjadi ke berbagai belahan dunia. “Kita hidup di mana ruang publik menjadi cair dan tembus,” kata dia.
Ade Armando pun menuturkan demokrasi di Indonesia mengalami pergeseran dengan kehadiran teknologi Internet. Beberapa kelompok Islam di Indonesia mendirikan media baru (online) untuk menyampaikan suara mereka tanpa pengawasan pemerintah. Kondisi ini tidak dapat ditemukan ketika di masa Orde Baru.
“Media masa Islam di masa Orde Baru tidak bisa menyampaikan semangat untuk mendirikan negara Islam atau menolak demokrasi di Indonesia,” kata Ade. Tapi kondisinya berbeda saat ini, sejumlah media dengan dana sedikit berdiri dan meraih popularitas yang luas di komunitas Islam.
Di sisi lain, kelompok Islam juga menggunakan berbagai model media massa modern, seperti menulis dan memproduksi novel, merekam lagu, dan bahkan film yang berisi pesan mendirikan negara Islam.
Bahkan dengan adanya media sosial, kelompok Islam dapat membuat komunitas virtual untuk mengkampanyekan Islamisasi. Seperti yang dilakukan ISIS dengan kampanye teror melalui situs, Twitter, blog, dan Youtube. "Islamis di Indonesia pun melakukan hal serupa."
MARTHA WARTA SILABAN