TEMPO.CO, Sanaa - Penduduk miskin di ibu kota Sanaa, Yaman, kini bergantung hidup pada sisa-sisa makanan di tempat sampah, untuk bertahan hidup. Seperti yang dialami Mahdi Abdulla, pria berusia 45 tahun yang telah kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat perang saudara di negara itu.
Mahdi terpaksa mengais tempat sampah yang ditemuinya di jalan untuk sekadar mengisi perutnya karena tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan.
"Selama beberapa bulan, saya kehilangan pekerjaan. Ini memaksa saya untuk menafkahi keluarga saya dengan cara apa pun, termasuk mencari makanan di tempat pembuangan sampah atau mengemis," kata Mahdi saat diwawancarai Al Jazeera.
Berita terkait:
Perang di Yaman, Unicef: Setiap 10 Menit Satu Anak Tewas
Setahun Perang, Bayi di Yaman Derita Kurang Gizi Parah
Perang Saudara, Yaman Kehilangan Rp 184 Triliun
Tinggal di Bait Bos, Sanaa, Mahdi Abdulla menjelajah kota setiap hari, memeriksa setiap tumpukan sampah untuk menemukan sesuatu bagi dia dan sepuluh anggota keluarganya untuk dimakan.
Mahdi Abdulla hanyalah satu dari jutaan penduduk Yaman yang menjadi korban perang sipil yang hampir memasuki tahun ketiga.
Kekurangan pangan besar-besaran telah mencengkeram negara termiskin di dunia Arab tersebut. Badan Program Pangan Dunia (FAO) memperkirakan sekitar 14 juta warga Yaman mengkonsumsi makanan yang tidak aman, setengah dari makanan itu diklasifikasikan sebagai makanan yang sangat berbahaya bagi manusia.
Pakar ekonomi Yaman, Ahmed Shamakh, mengatakan perang telah membawa Yaman ke arah bencana kelaparan.
"Pembangunan telah terhenti di negeri ini. Bisnis juga telah ditutup. Sehingga memperburuk situasi pangan di Yaman. Saat ini, beberapa warga sipil di Yaman memakan dari apa yang temukan di tempat sampah dan mengambil sisa yang mereka temukan di restoran. Ini membantu mereka bertahan hidup," ujar Shamakh.
Sebelum perang, Yaman mengimpor 90 persen produk makanan dari luar negeri, tapi proses impor telah terhenti di tengah konflik yang sedang berlangsung di negara itu.
Situasi perekonomian keluarga Yaman juga memburuk akhir tahun lalu, setelah pemerintah yang diakui secara internasional merelokasi Bank Sentral Yaman dari Sanaa ke Aden. Langkah itu mempengaruhi semua pegawai negeri, yang belum menerima gaji mereka.
PBB memperkirakan lebih dari 370 ribu anak-anak berisiko menderita kelaparan di Yaman, sedangkan lebih dari dua juta terancam putus sekolah karena perang yang sedang berlangsung.
Kini penduduk Yaman mengharapkan masyarakat internasional untuk setidaknya membantu mereka bertahan hidup. Saat ini terdapat beberapa badan amal yang membantu, tapi tidak dapat mencukupi kebutuhan jutaan penduduk dengan pipi yang cekung serta kulit pucat yang terlihat nyata membalut tulang akibat kelaparan.
AL JAZEERA | YON DEMA