TEMPO.CO, Manila- Presiden Filipina Rodrigo Duterte menolak namanya dinobatkan sebagai tokoh pemimpin paling berkuasa di dunia 2016 oleh majalah Forbes. Ia menyatakan malu jika mendapatkan predikat tersebut ketika ribuan orang tewas karena obat terlarang selama pemerintahannya.
"Jadi apa dasarnya? Jika membunuh 5 ribu orang untuk membuat saya berkuasa, Anda pikir saya nyaman membunuh orang Filipina?" kata Duterte seperti dilansir assiancorrespondent.com, Minggu 18 Desember 2016.
Ia menambahkan apabila dengan membunuh 5 ribu orang Filipina membuat ia menjadi pemimpin paling berkuasa, itu adalah hal memalukan. "Jika itu diartikan dengan membunuh 5 ribu orang Filipina, itu memalukan. Saya tidak bisa menerima itu," kata Duterte.
Baca:
Sambut Natal, Presiden Duterte Minta Abu Sayyaf Berlibur
Putin, Trump, dan Duterte, Manusia Paling Berkuasa di Dunia 2016
Duterte juga meremehkan kekuatannya sebagai presiden Filipina. "Saya hanya menjalankan tugas negara. Saya merasa sangat dangkal. Saya bahkan tidak bisa memaksakan kepemimpinan saya pada orang-orang Filipina," kata dia, seperti dikutip dari Inquirer.
Duterte menduduki peringkat ke-70 dalam daftar orang paling berkuasa di dunia oleh Majalah Forbes pada 2016. Presiden Rusia Vladimir Putin menduduki peringkat di tempat pertama, sementara Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump berada di tempat kedua.
Forbes mencatat mantan Wali Kota Davao City ini telah memenangkan kursi kepresidenan Filipina pada Mei 2016. Dalam kampanyenya, ia berjanji mengeksekusi pengguna dan penjahat narkoba. "Perangnya pada kejahatan telah mengakibatkan ribuan orang terbunuh," tulis majalah Forbes.
Hal ini juga menyoroti hubungan Duterte dengan AS yang berencana untuk mengatur kembali hubungan Filipina menuju Cina. "Kecenderungan Duterte untuk mengatakan apa yang dia pikirkan, tidak peduli seberapa baku itu, membuat dia selalu muncul di berita utama," tulis Forbes.
Duterte telah memiliki beberapa perselisihan dengan para pemimpin AS, pendukung hak asasi manusia dan kelompok internasional seperti PBB dan Uni Eropa atas tindakannya. Sampai saat ini, sekitar 5.000 tersangka narkoba telah tewas di tangan aparat keamanan lokal.
ASIAN CORRESPONDENT | ARKHELAUS W