TEMPO.CO, Jakarta - Mantan pemimpin oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan kebebasannya. Dengan suara bulat, lima anggota majelis hakim memutuskan bahwa peninjauan kembali berkas perkara sodomi yang menjerat Anwar pada 2014 itu tidak ada gunanya.
"Kami tidak akan memproses berkas peninjauan kembali pemohon," kata juru bicara pengadilan seperti dilansir dari The Guardian, Rabu, 14 Desember 2016.
Keputusan ini mengakibatkan Anwar Ibrahim tidak bisa mengikuti pemilihan umum pada 2018. Padahal Anwar digadang-gadang sebagai kesempatan terbaik tim oposisi untuk menggeser Perdana Menteri Najib Razak dan mengakhiri kekuasaan yang diambil partainya dalam enam dekade terakhir.
Ratusan demonstran berkumpul di luar gedung pengadilan untuk menunjukkan dukungan kepada Anwar Ibrahim. Mereka dihadang oleh barikade polisi di sekitar kompleks pengadilan.
Anwar Ibrahim terlihat dibawa oleh lebih dari selusin pengawal tahanan. Ia juga didampingi istri, putri, dan cucunya. "Ini bukan akhir dari perjalanan," ujarnya kepada awak media.
Anwar Ibrahim dipandang sebagai ancaman terbesar bagi Organisasi Nasional Malaysia Bersatu (UMNO) setelah memimpin partai oposisi pada 2013 dan meraih kemenangan besar. Sebelumnya, dia menjabat sebagai wakil perdana menteri dan menteri keuangan pada 1990 di bawah kepemimpinan Mahathir Mohamad. Namun ia dicopot dari jabatannya dan dipenjara selama beberapa tahun.
Pada 2013, Anwar Ibrahim kembali berpolitik. Ia lantang berkampanye antikorupsi dan nepotisme untuk melawan Najib. Najib Razak diduga melakukan korupsi uang negara bernilai miliaran.
Pada 2015, Anwar Ibrahim kembali masuk penjara karena dituduh menyodomi asistennya. Pendukungnya menyebut kasus ini sebagai kriminalisasi bermotif politik untuk mengakhiri karier Anwar.
Musim panas ini, Anwar Ibrahim bergabung lagi dengan Mahathir untuk mencoba menggeser Najib. Kerja sama keduanya menjadi sejarah di Malaysia. Mereka berhasil membuat anggota oposisi dan UMNO melawan Najib bersama-sama untuk pertama kalinya.
Namun, menurut hakim Malaysia, hak politik seseorang akan dicabut selama lima tahun setelah masa hukumannya berakhir. Artinya, kesempatan Anwar untuk memimpin kampanye seperti pada 2013 telah kandas.
The Free Anwar Now (Bebaskan Anwar Sekarang)—organisasi pendukung Anwar—menyatakan ada banyak anomali dan inkonsistensi dalam putusan kasus tersebut. DNA dan barang bukti masih dipertanyakan.
Phil Robertson, Direktur Deputi Human Right Watch Divisi Asia, mengatakan putusan itu adalah tragedi nyata untuk pengadilan di Malaysia. "Lebih dari apa pun hasil ini menunjukkan bahwa pengadilan Malaysia itu tidak cocok dengan dendam politik Najib Razak," tuturnya.
MAYA AYU PUSPITASARI | THE GUARDIAN