TEMPO.CO, New Delhi – Mahkamah Agung India memutuskan melarang kepemilikan, penyimpanan, dan penjualan kembang api di Ibu Kota New Delhi, Jumat, 25 November 2016. Keputusan ini diambil menanggapi petisi dari sejumlah orang tua yang khawatir polusi dari kembang api berdampak buruk pada kesehatan anaknya.
Para orang tua ini berargumen, paru-paru anak kecil belum cukup terbentuk untuk menerima peningkatan polusi yang terjadi. Polusi udara di India meningkat tajam setelah diadakannya Diwali, festival budaya Hindu di India utara.
"Tahun ini, beberapa saat seusai Diwali berakhir, kami mendapatkan polusi terburuk dalam 20 tahun terakhir," ujar Gopal Sankaranarayanan, pengacara yang mewakili para pembuat petisi, seperti dilansir BBC. Prosesi yang diadakan dalam festival yang digelar pada Oktober itu antara lain pembakaran kembang api secara massal.
Mahkamah menemukan polusi udara di Delhi meningkat sepuluh kali lipat dari batas aman seusai perayaan Diwali. "Itu (polusi) memang cukup buruk dalam 10-14 hari seusai Diwali," tutur Sankaranarayanan. Hal ini membuat warga India disambut pagi yang penuh dengan kabut asap tiap hari.
Selain melarang kembang api, Mahkamah meminta otoritas pengontrol polusi segera mempelajari efek buruk dari material yang ada dalam kembang api. Mahkamah memberi waktu untuk studi ini selama tiga bulan.
Kampanye pengurangan penggunaan kembang api selama Diwali beberapa kali dilakukan. Namun belum ada perubahan berarti. Sankaranarayanan mengatakan keputusan Mahkamah ini merupakan langkah positif bagi perjuangan menghentikan polusi.
Ia berujar, langkah selanjutnya dalam mengurangi polusi di India adalah penelitian selama setahun untuk menemukan sumber polusi paling tinggi.
"Cina sudah melakukannya (penelitian). Indonesia dan Dubai juga. Namun kami (India) belum. Padahal kami (Delhi) sudah disebut sebagai kota dengan tingkat polusi paling tinggi di dunia," tutur Sankaranarayanan.
EGI ADYATAMA | BBC | AP