TEMPO.CO, Raqqa - Koalisi militer Amerika Serikat yang didukung kekuatan Pasukan Demokratik Suriah (Syrian Democratic Forces/SDF) melancarkan serangan ke Raqqa, Suriah.
Serangan pada Minggu, 6 November 2016 yang diawali oleh SDF—terdiri atas kelompok pemberontak Kurdi dan Arab yang bertempur di Suriah—terus dilancarkan untuk menggempur benteng terakhir pasukan ISIS di Suriah itu.
Serangan di Suriah ini menambah tekanan terhadap milisi ISIS di Mosul, Irak, karena pada saat bersamaan ada gempuran angkatan bersenjata Irak bersama pasukan koalisi pimpinan Amerika. Pasukan SDF menyerang Raqqa seperti pasukan Irak yang bertempur di wilayah Mosul.
Menurut seorang pejabat di SDF, sebanyak 30 ribu personel SDF terlibat dalam serangan dengan nama operasi Efrat Shield itu. "Kami juga mengimbau lembaga-lembaga kemanusiaan dan bantuan internasional melakukan tugasnya bagi orang-orang di Raqqa setelah kota ini bisa dibebaskan," demikian pernyataan SDF.
Pasukan SDF menggempur ISIS di Kota Raqqa melalui dua arah, yakni dari Suluk dan Kota Ayn Issa. Lokasi dua kawasan itu sekitar 55 kilometer sebelah utara Raqqa. Pasukan SDF terus merangsek dan berhasil mencapai 10 kilometer mendekati daerah perbatasan. Pasukan tersebut mengklaim menguasai lima desa di kawasan itu sejak Sabtu malam lalu.
Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian mengatakan negaranya akan memberikan bantuan berupa serangan udara. Kepada stasiun radio Prancis Europe 1, dia mengatakan pasukan teritorial lokal harus merebut kembali Raqqa dengan dukungan pesawat dari pasukan koalisi.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat Ashton Carter menuturkan, perjuangan merebut kembali Raqqa dari ISIS tidaklah mudah. Dia membandingkan upaya itu dengan serangan terhadap ISIS di Mosul. ”Tidak mudah, tapi itu diperlukan untuk mengakhiri kekhalifahan ISIS yang melakukan serangan teror terhadap Amerika Serikat, dan sekutu serta mitra kami,” ujar Carter.
Meski begitu, operasi menggempur ISIS di Suriah tidak seperti di Mosul. Berbagai faksi dan kepentingan masuk dalam pertempuran melawan ISIS di Suriah. Sebab, selain pasukan SDF, Unit Perlindungan Rakyat (YPG) dianggap Amerika sebagai kekuatan paling efektif dalam menghadapi ISIS di Suriah.
Namun Turki, yang lokasinya paling dekat dengan Suriah, menganggap YPG sebagai organisasi teroris yang terkait dengan kelompok Kurdi dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK).
Para pejabat Turki, termasuk Presiden Recep Tayyip Erdogan, mengatakan mereka tidak akan menerima peran Kurdi dalam operasi pembebasan Raqqa. Erdogan ingin memastikan YPG tidak bisa merajut kantong-kantong Kurdi di Suriah utara hingga menjadi negara yang secara de facto bisa memperkuat PKK.
Dikutip dari Reuters, Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada akhir Oktober lalu menghabiskan lebih dari dua jam berbicara di telepon dengan Erdogan.
Menurut para pejabat Amerika, pembicaraan itu merupakan bagian dari diplomasi Gedung Putih untuk mengatasi keberatan Erdogan terhadap partisipasi pasukan YPG dalam serangan ke Raqqa.
Andreas Krieg, peneliti keamanan dan strategi kawasan timur di King’s College London, menilai Turki tidak ingin YPG atau SDF lebih berkuasa di Suriah, dan itulah alasan utama pelibatan militer negara tersebut dalam operasi ini. ”Tidak mungkin SDF mampu menghadapi pertempuran ini sendirian," ujar Krieg.
BBC | DAILYBEAST | ASSOCIATED PRESS | AL JAZEERA | SUKMA LOPPIES