TEMPO.CO, Ankara -Laporan terbaru lembaga Jaringan Komunikasi Independen (BIA) menyebutkan sebanyak 107 jurnalis saat ini dipenjara dan 2.500 jurnalis lainnya menganggur setelah pemerintah Turki mengeluarkan kebijakan menekan kemerdekaan pers menyusul kudeta yang gagal.
Menurut BIA, seperti dikutip dari alaraby.co.uk, dari 107 jurnalis yang dijebloskan ke bui, 71 di antaranya dituduh sebagai pendukung Fethullah Gulen. Turki menuding Gulen, 71 tahun, sebagai otak dari upaya kudeta pada tanggal 15 Juli lalu.
Baca:
AS Kerahkan 300 Tentara ke Norwegia, Rusia Terkejut
Kisah Sandera Perompak Somalia yang 4 Tahun Makan Tikus
Selain itu, 22 jurnalis telah didakwa melakukan penistaan terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam tiga bulan terakhir. Dua jurnalis dihukum bersalah dan diwajibkan membayar denda masing-masing sebesar 3,139 euro atau Rp 44,3 juta.
Satu kasus terbesar adalah penutupan surat kabar Zaman yang selama ini dikenal mengkritisi pemerintahan Erdogan. Sebanyuak 47 jurnalis Zaman ditangkap.
Dengan pemberangusan kemerdekaan pers dengan menjebloskan para jurnalis dan menutup 155 media, BIA menyebut Turki sebagai penjara jurnalis terbesar di dunia.
"Deklarasi negara keadaan darurat menyusul upaya kudeta pada tanggal 15 Juli dan Dekrit Dekrit UU diumumkan saat Negara dalam situasi Darurat, menimbulkan pelanggaran hukum dan tindakan yang berlebihan seperti penutupan, penahanan, dan penangkapan," kata BIA.
Menurut BIA, sejak 15 Juli lalu, 775 kartu pers dan 49 paspor dibatalkan. Setelah upaya kudeta itu, Turki membungkam jurnalis, akademisi, dan ahli ekonomi dengan cara menahan dan menangkap mereka. BIA mencatat saat ini ada lebih dari 13 ribu orang ditahan.
AL ARABY.CO.UK | MARIA RITA