TEMPO.CO, Port-au-Prince — Meski hampir sepekan setelah diterjang Badai Matthew, korban jiwa terus bertambah di Haiti. Seperti dilansir Reuters, Senin, 10 Oktober 2016, jumlah korban hingga awal pekan ini telah menembus lebih dari 1.000 orang. Negeri termiskin di Benua Amerika itu pun kini harus berjuang melawan ancaman kolera akibat mayat yang terlalu banyak dan sanitasi yang buruk.
Badai yang telah memporak-porandakan sejumlah negara seperti Kolombia, Haiti dan Amerika Serikat itu, menerjang Haiti dengan kecepatan 230 kilometer per jam. Angin kencang ini membawa hujan lebat sehingga terjadi terjadi banjir. Selain korban jiwa, sebanyak 61.500 warga Haiti kini kehilangan tempat tinggal, dan 350 ribu warga lainnya membutuhkan pertolongan segera.
Jean-Pierre Jean-Donald, salah satu warga, mengatakan kepada Reuters, rumahnya hancur tertimpa pohon. “Warga menolong saya keluar dari rumah, sedangkan istri saya tewas,” kata dia.
Pekerja kemanusiaan menyebut sekitar 90 persen wilayah selatan Haiti hancur total. Jalanan menunju ibu kota dari wilayah selatan juga terputus. Kate Corrigan, perawat yang bekerja untuk Innovating Health International di Ibu Kota Port-au-Prince, mengatakan kepada BBC, pihaknya belum dapat mencapai sejumlah kota kecil. “Helikopter kami tidak bisa mendarat karena kerusakan sangat parah,” kata Corrigan.
Sulitnya akses komunikasi ke wilayah paling parah membuat jumlah korban jiwa dikhawatirkan semakin meningkat. Amerika Serikat mengirim kapal USS Mesa Verde, serta 9 helikopter militer untuk membantu mengantar makanan ke wilayah paling parah terdampak. Palang Merah Internasional mengumumkan permohonan bantuan darurat sebesar US$ 6,9 juta untuk menyediakan layanan kesehatan, tenda, air dan sanitasi bagi 50 ribu warga Haiti.
Haiti – salah satu negara termiskin di dunia – belum pulih setelah diguncang gempa dasyat pada 2010 yang menewaskan ribuan warga dan memicu epidemik kolera.
REUTERS | BBC | SITA PLANASARI AQUADINI