TEMPO.CO, Riyadh - Strategi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Riyadh melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI) melalui perpanjangan paspor membuahkan hasil. Saat memperbarui paspor atau memperpanjang Perjanjian Kerja (PK), TKI yang bersangkutan harus datang langsung ke KBRI untuk proses wawancara.
Pada kesempatan itulah petugas loket KBRI akan memastikan kondisi kerja dan pemenuhan hak-hak oleh majikan atau perusahaan tempat mereka bekerja. Proses wawancara ini terbukti efektif dalam melindungi hak-hak TKI, khususnya bagi mereka yang karena berbagai alasan tidak berani melaporkan permasalahannya ke KBRI.
Menurut rilis KBRI Riyadh yang diterima Tempo, terhitung sejak Maret hingga September 2016, KBRI Riyadh berhasil membantu penyelesaian gaji tak dibayarkan bagi 119 TKI dengan jumlah mencapai lebih dari Rp 9,2 miliar.
Salah satunya adalah Sumarni. Pada suatu pagi yang panas Agustus 216, yang bersangkutan datang ke bersama majikannya untuk mengganti paspor. Saat diwawancara, terungkap bahwa Sumarni belum menerima gaji selama lima tahun dan selama itu pula sudah putus kontak dengan keluarganya di Indonesia. Selama tujuh tahun bekerja di majikannya, Sumarni baru menerima gaji selama dua tahun, dan hanya dua kali diberi kesempatan untuk berkomunikasi dengan keluarga.
Petugas loket lalu melaporkan hal tersebut kepada Sekretaris Tiga Konsuler, Arief Ilham Ramadhan. Sumarni lalu dibawa masuk untuk diwawancara lebih dalam. “Awalnya, Sumarni menyatakan ingin kembali bekerja dan tidak peduli gajinya yang belum dibayarkan,” tulis KBRI Riyadh.
Namun Arief berpikir bahwa mengembalikan Sumarni kepada majikannya berarti membiarkan satu lagi anak bangsa yang diperas tenaganya dengan sia-sia. Terlebih Sumarni juga mengaku dirinya kerap mendapat kekerasan fisik dari majikan perempuan dan anaknya.
Standar baku bagi kasus seperti itu adalah dengan mengkonsultasikan keadaan TKI dengan keluarganya di Indonesia. Untunglah, Sumarni masih menyimpan secarik kertas berisi beberapa nomor telepon keluarganya di Indonesia.
Tiga nomor pertama yang coba dihubungi gagal tersambung. Baru pada nomor yang keempat berhasil terhubung dan diangkat oleh paman Sumarni.
Dari pamannya, KBRI berhasil mendapatkan nomor telepon kakak kandungnya. Sumarni juga mendapat kabar duka bahwa bapaknya sudah meninggal dunia lima tahun lalu.
Setelah mendengar kabar duka tersebut, hati Sumarni luluh dan menyatakan keinginannya untuk kembali ke Tanah Air. Saat itu juga KBRI meminta majikan untuk segera membayar hak-hak Sumarni dan mengurus kepulangannya termasuk membelikan tiket. Keesokan harinya si majikan kembali ke KBRI dengan membawa gaji dan uang tiket Sumarni.
“Alhamdulillah, niat tulus membantu sesama warga Indonesia, banyak membuahkan hasil bahagia, selama TKI terkait mau bekerja sama dalam menyelesaikan kasusnya,” KBRI Riyadh menuliskan.
Dalam kasus lain, ada juga TKI yang tidak jujur. Ketika diwawancara, mengaku telah menerima semua gajinya. Namun, keesokan harinya, TKI tersebut kembali menelepon KBRI sambil menangis dan menyampaikan kesedihan bahwa gajinya belum dibayar oleh majikan. Yang bersangkutan tidak mengaku ketika diwawancara di KBRI karena takut dengan majikan.
“Seharusnya TKI mengetahui bahwa saat diwawancara di loket itulah peluang terbaik para TKI untuk mengadukan permasalahan mereka. Para TKI tidak perlu takut karena wilayah kantor KBRI adalah wilayah kedaulatan Indonesia dan majikan tidak akan berani berbuat macam-macam,” KBRI Riyadh melanjutkan.
KBRI Riyadh mendorong agar para TKI yang mengalami permasalahan untuk terbuka dan jujur dalam menjawab semua pertanyaan petugas loket pada saat wawancara, ketika sedang melakukan perbaruan paspor dan Perjanjian Kerja.
NATALIA SANTI