TEMPO.CO, Cartagena - Indonesia turut diundang untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian final pengakhiran konflik di Kolombia. Sekitar tiga ribuan orang berpakaian putih menghadiri peristiwa bersejarah tersebut di Cartagena, Kolombia.
Perjanjian Final Pengakhiran Konflik diteken oleh Presiden Kolombia Juan Manuel Santos dan kelompok pemberontak terbesar dunia, Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC), 26 September 2016.
Duta Besar RI untuk Kolombia, Trie Edi Mulyani, secara khusus diundang untuk menyaksikan peristiwa bersejarah yang juga dihadiri sejumlah kepala negara atau wakilnya serta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, Ban Ki-moon. Di antaranya Kuba, Bolivia, Venezuela, Chile, Brazil, Guatemala, Meksiko, Honduras, El Salvador, Panama, Kosta Rika, Ekuador, Peru, Argentina, Paraguay, Republik Dominik dan Amerika Serikat.
“Misi sudah tercapai, kini yang terpenting adalah pasca penandatanganan. Kedua pihak sangat menginginkan perdamaian. Kini bagaimana menjaga perdamaian demi kesejahteraan,” kata Trie Edi, yang akrab disapa dengan panggilan Niniek tersebut lewat pesan Whatsapp kepada Tempo.
Dia menuturkan penandatanganan perjanjian ini menjadi tonggak sejarah berakhirnya konflik bersenjata di Kolombia yang telah berlangsung selama 52 tahun. Konflik terlama di Amerika Latin. Kesepakatan itu sekaligus juga menandai pembubaran FARC dan dimulainya proses reintegrasisosial para eks kombatan FARC ke dalam masyarakat Kolombia.
Niniek memaparkan negosiasi perjanjian pengakhiran konflik telah diinisiasi Pemerintah Kolombia dan FARC sejak Maret 2011 di Havana, Kuba. “Ada enam agenda utama, yaitu reformasi kebijakan agraria di Kolombia, partisipasi politik eks kombatan FARC, solusi atas masalah narkotika, reparasi hak-hak korban dan transitional justice, mekanisme pengakhiran konflik serta implementasi perjanjian,” kata Niniek lewat surat elektronik kepada Tempo.
Pemerintah Kolombia banyak menerima dukungan internasional atas keberhasilan mencapai agenda kesepakatan perdamaian yang dapat dibilang paling komprehensif sepanjang sejarah. Namun di tingkat nasional, Pemerintah Kolombia justru mendapatkan tekanan besar dari masyarakat. Pemerintaha dinilai banyak memberikan komitmen politik kepada FARC demi mencapai suatu perdamaian. Antara lain pemberian amnesti atas kejahatan perang yang dilakukan anggota FARC.
Pemerintah Kolombia masih diharuskan melakukan referendum pada 2 Oktober 2016 untuk mengesahkan perjanjian pengakhiran konflik tersebut menjadi legislasi nasional. Pengesahan perjanjian baru terjadi apabila terdapat paling sedikit 13 persen pemilih tetap atau sekitar 4,5 juta penduduk yang memilih setuju.
Kelompok oposisi konservatif yang dipimpin oleh Alvaro Uribe, mantan Presiden Kolombia periode 2002-2010 telah gencar melakukan kampanye menolak ratifikasi perjanjian tersebut dan terus mendulang massa di berbagai daerah di Kolombia.
Selain itu, terdapat juga kekhawatiran akan meningkatnya jumlah pemilih yang abstain berdasarkan jajak pendapat terkini.
Apabila referéndum tidak mencapai mínimum jumlah suara sah 13 persen, maka Perjanjian akan batal menjadi legislasi dan tidak dapat diimplementasikan. Pemerintah Kolombia merasa yakin bahwa masyarakat Kolombia, yang telah lama menginginkan perdamaian, pada akhirnya akan mengesahkan Perjanjian tersebut.
Apabila pengesahan Perjanjian disetujui, Pemerintah Kolombia masih harus menghadapi banyak kendala lain. Di antaranya, pendanaan besar terkait proyek pasca konflik yang diperkirakan membutuhkan sekitar US$ 31 miliar. Lalu, masalah konflik sosial akibat reintegrasi ribuan eks kombatan FARC ke dalam masyarakat Kolombia. Juga masalah penyelesaian konflik dengan kelompok pemberonta klain yang masih tersisa, yaitu Ejército de Liberación Nacional (ELN), paramiliter dan Bandas Criminales (BACRIM).
NATALIA SANTI