TEMPO.CO, Jakarta - Dibandingkan sepuluh tahun lalu, pria ini tampak lebih kurus. Rambutnya juga telah memutih semua. Yang tak berubah adalah keramahannya. Mengaku sering naik kereta, Jakarta-Bandung. Nasi goreng di atas kereta, paling enak, kata pria yang menyandang gelar master untuk ilmu kimia fisik dari Universitas Sind, Hyderabad, Pakistan ini. Tapi makanan favoritnya adalah ayam goreng Ny. Suharti.
Tak hanya mengunjungi ratusan universitas untuk memberi kuliah soal Palestina dan situasi Timur Tengah, duta besar ini juga kerap mengendarai mobilnya sendiri. Ke Cirebon, Garut dan kota-kota lain, menelusuri jalan-jalan kecil hanya untuk mengenal lebih dekat Indonesia. Dia pun mengaku sering berjalan kaki dari rumah sekaligus kantornya di dekat stasiun kereta api Cikini ke Taman Suropati. Jelang tengah malam sampai pagi. Menikmati segelas kopi dari pedagang dan mengajak mereka bercakap-cakap soal keseharian dengan bahasa Indonesia yang dia pahami.
Dijumpai wartawan Tempo, Natalia Santi dan Danang Firmanto, di kantornya, Jumat, 16 September 2016, segurat kesedihan tampak di wajahnya. Sambil menyeruput teh maryam, dan kudapan kue kering manis yang dikirimi koleganya dari Yerusalem, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Nafi’ Atieh Mehdawi lancar bercerita.
Berikut petikan wawancara, kompilasi sepuluh tahun pengabdiannya di Indonesia, dan apa yang akan dia lakukan di penempatan baru sebagai Duta Besar Palestina untuk Cina:
Apa pengalaman yang paling mengesankan selama sepuluh tahun bertugas?
Sepuluh tahun adalah masa cukup panjang. Untuk mengetahui lebih banyak, belajar lebih banyak dan bertindak lebih banyak. Tapi saya bisa melihat sepuluh tahun ke belakang dengan rasa puas, apresiasi dan bahkan bangga.
Tahun-tahun yang sangat menarik. Saya menyaksikan sedikitnya dua pergantian pemerintahan. Ekonomi yang berjalan. Ibukota Jakarta di tangan yang berbeda.
Saya beruntung bisa mengunjungi banyak kota di Indonesia. Melihat budaya dan potensi yang berbeda-beda. Indonesia sangat besar. Saya pernah ke Aceh, Sumatera, Kalimantan, Samarinda, Pontianak, Maluku, berbagai tempat di pulau Jawa. Hanya Papua yang belum saya kunjungi. Tiga kali ada kesempatan, saat yang sama ada keperluan lain yang mendesak.
Seorang duta besar yang tidak punya kesempatan berkeliling, tidak dapat melihat secara mendalam, melihat Indonesia yang sebenarnya. Saya berkesempatan melihat Indonesia dari dekat dengan lebih baik.
Bagaimana saat pertama kali diminta untuk bertugas di Indonesia?
Ini impian saya. Sebagai diplomat Palestina, kita boleh memilih tiga negara. Saya pilih pertama Indonesia, kedua Indonesia dan ketiga Indonesia.
Dari mana mengenal Indonesia?
Timur Tengah sangat jauh dari Indonesia secara geografis. Jadi tidak banyak yang mengenal Indonesia. Tapi, Indonesia sangat terkenal di Palestina. Salah satunya karena Achmad Soekarno (Presiden Pertama RI, red). Bagi kami, dia adalah role model pemimpin bangsa. Menyebut Indonesia, orang akan ingat, Bandung dan Soekarno. Seperti Mesir, orang akan sebut Sungai Nil, Nasser dan piramida.
Selain itu saya bertemu dengan beberapa duta besar yang mendorong saya ke Indonesia. Ada Taufik Salim, paman dari Candra Salim, yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Fiji, banyak lagi. Dari mereka, saya juga belajar segala hal tentang Indonesia.
Yang paling menarik dari Indonesia adalah kisah kemerdekaannya, kisah netralitasnya di kancah internasional, perjuangan dan kesuksesan ekonomi di era 1990-an. Bagi kami, datang ke negara besar tentu saja menjadi tantangan besar bagi saya. Apalagi Indonesia melalui masa-masa yang sangat menarik. Soeharto meninggal, lalu diganti, lalu Pak Yudhoyono (Susilo Bambang Yudhoyono, red.) hadir sebagai presiden.
Bagaimana sebuah transisi reformasi demokrasi terjadi, ini menarik. Indonesia menjadi teladan. Karena pada hal yang sama di negara lain, situasinya bisa sangat buruk. Perubahan sistem politik dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dari satu partai menjadi multipartai, dan bagaimana pembagian kekuasaan.
Saya melihat hubungan eksekutif dengan Senayan, bagaimana politik bermain, media, yudisiari, KPK, hubungan lokal dengan pusat. Ini sangat menarik. Karena itu periode saya sangat kaya.
Apa perbedaan saat Anda tiba dan sekarang?
Indonesia kini lebih mengapresiasi dan memahami isu Palestina secara sangat lebih baik ketimbang sepuluh tahun lalu. Sebagian karena kami bekerja keras untuk itu. Itu yang saya lakukan saat berkeliling Indonesia. Menjelaskan isu Palestina. Ratusan universitas saya kunjungi. Hubungan saat ini sangat impresif dibandingkan pada 2006.
Berada di Indonesia menjadi sebuah kehormatan bagi saya. Kesempatan yang unik bagi diplomat.
Kehidupan diplomat di negara ini sangat dihormati. Ini bukan pendapat saya saja. Banyak duta besar mengatakan demikian. Contoh sederhana, saat Hari Nasional, ada menteri yang datang. Ini tidak terjadi di semua negara.
Bagi diplomat Palestina, lebih plus lagi. Ke mana saya pergi, jika Gubernur, Walikota tahu ada duta besar, mereka akan menyambut saya.
Saat saya ke Solo bersama tim nasional sepakbola kami, Pak Jokowi, ketika itu masih menjadi walikota, mengundang kami ke kantornya. Saya pun bisa duduk di kursi di mana Pak Soekarno (Presiden Pertama RI, Red.) pernah duduk. Pak Jokowi sangat rendah hati.
Ke mana pun saya pergi, ke mesjid, ke gereja, banyak orang mengajak selfie. Saya tahu, ini bukan karena saya pribadi, tetapi karena saya Duta Besar Palestina. Media juga membantu saya, wajah saya jadi dikenal banyak orang.
Apa yang paling menyentuh Anda?
Rumah sakit di Gaza. Itu donasi dari rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia mengumpulkan uang dari lima ribu, sepuluh ribu rupiah hingga sembilan juta dolar. Bukan dari pemerintah. Buat saya, bukan jumlah uangnya. Tapi siapa yang membangun. Bukan kontraktor, tapi orang Indonesia sendiri yang ke sana, membangun sendiri.
Anda tahu betapa sulitnya memasukkan bahan bangunan ke Palestina. Pintu perbatasan di Rafah tidak selalu terbuka. Meski begitu, mereka tetap bersikukuh, terus membangun. Perlu empat tahun untuk menyelesaikannya. Tahun lalu Menteri Kesehatan kami datang ke sini, disaksikan Pak Jusuf Kalla (Wakil Presiden, Red.), rumah sakit itu diserahkan. Mereka memberi kami semuanya, memperindah tempatnya. Bahkan mesin-mesinnya pun dari Jeman, yang mahal. Mereka sangat tulus.
Palestina sangat dalam di hati dan pikiran rakyat Indonesia. Bahkan di saat Ramadhan, saya melihat bendera Palestina ada di pohon di tepi jalur mudik. Ada juga yang membawa bendera Palestina.
Di Parlemen, tidak ada yang mendebat soal Palestina. Semua partai mendukung kami. Bahkan menuntut agar pemerintah Indonesia berbuat lebih lagi untuk Palestina.
Apa lagi yang perlu ditingkatkan dalam hubungan kedua negara?
Bukan sekadar hubungan diplomatik dan politik, kami juga menjalin hubungan di berbagai bidang. Di bidang pendidikan, mahasiswa Palestina belajar untuk meraih gelar master dan doktor di Indonesia. Mereka di sini dua tiga tahun. Belajar bahasa Indonesia. Pergi ke berbagai pelosok. Sekembalinya ke Palestina, bisa menjadi duta Indonesia.
Di bidang pariwisata, saat saya tiba, turis Indonesia ke Palestina hanya sekitar 2.000-2.500. Dua tahun lalu, sebelum kekerasan di Yerusalem meningkat , jumlah wisatawan Indonesia mencapai 70 ribu orang.
Di bidang perdagangan, Anda akan dapat menemukan kurma Palestina di pasar-pasar swalayan. Juga minyak zaitun asli Palestina.
Adapun di bidang politik sudah mencapai puncak. Presiden SBY hadir dalam konferensi pembangunan kapasitas Palestina yang digelar negara Asia Afrika pada 2008. Presiden Mahmoud Abbas ke Jakarta, tandatangan lima MoU kerja sama, menjadikan kedua ibukota, Jakarta dan Yerusalem sebagai kota kembar.
Saat Palestina mengajukan diri untuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-bangsa. Pak Marty sendiri (Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri RI saat itu, Red.) datang ke New York, menjadi co-sponsor resolusi mewakili 56 negara. Dia tidak hanya mengirim surat lewat duta besar, tapi ke sana dan berdiri bersama Presiden (Mahmoud) Abbas, menuntut keanggotaan bagi Palestina. Tidak banyak menteri luar negeri di sana. Hanya Indonesia dan satu lagi menteri luar negeri Turki.
Apapun yang kita minta dari Indonesia, selalu diberikan. Di Jenewa, Dewan HAM PBB, di ajang konferensi manapun di dunia, PBB, Gerakan Non Blok, OKI, Indonesia selalu terdepan bagi kami. Selalu konsisten. Presiden Jokowi bahkan mengusung isu Palestina sebagai kebijakan luar negeri dalam kampanye untuk pertama kalinya.
Itu semua yang menyebabkan saya merasa sangat puas saat meninggalkan Jakarta. I’m fully satisfied. Pengganti saya akan sangat mudah menggali kerja sama dengan Indonesia. Semua (hubungan) sudah sangat baik. The soil is fertile to do more.
Bagaimana dengan tugas baru di Cina?
Tidak mudah bagi saya untuk meninggalkan negeri ini. Saya sangat melekat. Tapi saya bahagia. Saya pergi ke sebuah negara besar, negara pertama yang menampung kedutaan besar Palestina di Peking pada 1965. Saya akan pergi ke negara emerging superpower. Saya melihatnya sebagai amanah yang diberikan Tuhan.
Proses perdamaian Timur Tengah selama ini selalu didominasi Amerika Serikat, apakah Anda ingin melobi agar Cina, anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa, agar lebih berperan dalam hal ini?
Palestina tidak pernah memilih, Amerika atau bukan Amerika, memonopoli masalah ini tapi tidak menghasilkan apa-apa. Presiden Barack Obama akan selesai masa tugasnya. Dia pernah berjanji untuk membawa perdamaian, tapi saat ini di lapangan situasi malah lebih buruk. Amerika memang memimpin, tapi bukan untuk kebaikan kami.
Karena itulah kami mengharapkan dunia internasional yang berperan. Semua negara punya kesempatan untuk berperan dan keluar dari monopoli ini. Kami minta Indonesia diikutsertakan dalam proses perdamaian Anapolis. Kami juga sertakan Malaysia dan Turki.
Saya berharap dunia internasional memberikan pelajaran bagi Israel. Ibarat carrot and stick, dunia terlalu banyak memberikan carrot bagi Israel. Sekali-kali harus dikasih stik, seperti Iran dikenakan sanksi, juga rezim Saddam Hussein. Afrika Selatan juga tidak akan berubah jika dunia tidak bersikap keras.
Dunia harus bersatu menyatakan Israel harus berubah. Kita tidak bisa damai, jika dunia diam saja melihat bagaimana Israel memperlakukan tetangganya. Kita terus bicara soal proses perdamaian, tapi Israel terus membangun pemukiman, yang ilegal. Kini sudah satu juta di dalam Tepi Barat.
DK PBB tidak pernah meloloskan resolusi melawan Israel. Tidak pernah berhasil bagi kami sejauh ini. Tapi kami terus berjuang. DK PBB penting, Amerika juga Cina anggota tetapnya.
Secara diplomatik, Cina saat ini lebih aktif dibanding sebelumnya. Mereka aktif di Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah. Cina tidak perlu diundang lagi untuk lebih aktif. Bahkan pada pertemuan Arab di Doha dua bulan lalu, Menteri Luar Negeri Cina menyatakan dengan keras, tidak menerima pemukiman. Cina negara penting, terus berkembang juga di isu internasional. Mereka tidak akan diam saja. Dari draf hasil pertemuan Arab, fokus utama Cina adalah Palestina, bukan isu yang lain.
Banyak yang bisa saya lakukan di Cina, tapi terutama lebih ke masalah bisnis. Lebih banyak kerja sama. Beberapa investasi dari Cina akan dapat membantu kami, seperti energi matahari. Ketua Parlemen Cina juga berkunjung ke Ramallah.
Siapa pengganti Anda?
Saya belum tahu.
Laki-laki atau perempuan?
Itu juga menarik. Kami juga punya banyak perempuan duta besar. Di Venezuela, Italia, Hungaria, Swedia. Kami punya lebih dari sepuluh. Wanita Palestina pekerja keras. Dalam kondisi ekonomi yang buruk, hal ini telah terbukti. Perempuan menjadi petani yang baik. Di keluarga juga mengelola ekonomi. Mereka berpendidikan. Di penerimaan masuk universitas, 53 perempuan 47 laki-laki. Di pendidikan tinggi mereka memimpin.
Kapan konsul kehormatan Indonesia di Ramallah akan berkunjung?
Dia kemungkinan akan berkunjung saat pameran dagang, mungkin Oktober, belum dapat dipastikan. Kami ingin meningkatkan volume perdagangan. Banyak wilayah kerja sama yang belum digali.
Misalnya?
Kita perlu bekerja sama di bidang kesehatan. Yakni pemuda Palestina mengambil spesialisasi kedokteran di Indonesia. Tapi ada masalah. Sulit bagi warga asing mengambil spesialisasi di sini. Antara lain dia harus menguasai bahasa Indonesia secara maksimal. Juga ada tes ujian kesehatan wajib dalam bahasa Indonesia. Ini sulit bagi warga asing. Mudah untuk sekadar mengatakan ‘Selamat pagi, selamat siang’ tapi istilah kesehatan dalam bahasa Indonesia? Saya berharap itu bisa diselesaikan dan kami bisa memfasilitasi banyak calon dokter ke sini. Itu yang sangat diperlukan Palestina saat ini.
Bagaimana sikap Anda soal tuntutan agar Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel?
Saya tidak bisa ikut campur. Indonesia adalah negara yang berdaulat, bebas untuk menjalin hubungan dengan negara mana pun. Tapi kalau orang bertanya, apakah itu baik bagi Palestina, saya bisa katakan hal ini tidak baik bagi kami.
Saat Indonesia, di masa Soekarno, alasannya adalah karena Israel menjajah tanah bangsa lain. Itu juga ada dalam konstitusi Indonesia.
Tapi ini hanya orang-orang tertentu. Kalau Anda bertanya orang-orang di jalan, pasti banyak yang menolak. Bahkan jika Anda bertanya kepada anggota partai.
Bagaimana jika wartawan diundang ke Israel?
Silakan pergi saja. Tapi liput juga Palestina supaya berimbang. Itu tempat yang sama, dari Tel Aviv ke Ramallah hanya berjarak 10 kilometer, seperti ke Bogor. Tidak perlu visa. Tidak ada pos pemeriksaan, kami bergerak tiap hari.
Jurnalisme adalah untuk mengungkapkan kebenaran dan membuat reportase yang seimbang. Jurnalisme tidak boleh digunakan untuk kampanye seperti Netanyahu (PM Israel, red.).
NATALIA SANTI