TEMPO.CO, Havana - Pemerintah Kolombia dan pemberontak sayap kiri, FARC, menandatangani perjanjian damai bersejarah untuk mengakhiri perang gerilya selama 50 tahun. Konflik internal itu adalah salah satu konflik dunia paling panjang yang membawa negara itu ke ambang kehancuran.
"Kami mencapai kesepakatan mengakhiri konflik dan membangun perdamaian," bunyi pernyataan bersama yang dibacakan perwakilan Kuba dan Norwegia yang menjadi mediator negosiasi itu.
"Kami tiba pada tahap kesepakatan untuk mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian yang abadi di Kolombia," kata perwakilan Kuba, Rodolfo Benitez, membacakan pernyataan sebelum perjanjian ditandatangani ketua negosiasi kedua pihak.
Perjanjian bersejarah itu diikuti dengan pembubaran FARC, kelompok militan yang mendanai aksinya dari bisnis kokain yang menentang pemerintah Kolombia dalam perang yang merenggut sedikitnya 220 ribu nyawa. Puluhan ribu penduduk hilang, sementara jutaan lain meninggalkan kediaman masing-masing untuk menghindari kekerasan.
Namun perjanjian damai itu ditolak dua mantan Presiden Kolombia, Andres Pastrana dan Alvaro Uribe. Perjanjian itu juga masih harus disetujui melalui pemungutan suara sebelum menjadi undang-undang. Mayoritas jajak pendapat menyatakan rakyat Kolombia mendukungnya.
Kesepakatan itu akan diterima atau tidak melalui pemungutan suara yang akan berlangsung pada 2 Oktober mendatang. Presiden Juan Manuel Santos, yang mempertaruhkan legasinya demi perdamaian, berusaha keras mendapatkan suara “ya” untuk mengakhiri konflik dengan pemberontak FARC.
"Vote positif terlihat seperti mendapat poin penuh. Namun penolakan mantan presiden, Andres Pastrana dan Alvaro Uribe, akan memaksa Santos berkampanye kuat untuk kesepakatan itu," kata dosen hubungan internasional di Universitas Reading, Tom Long.
Para pemberontak sayap kiri FARC memerangi pemerintah Kolombia sejak 1964. Ini adalah konflik terpanjang di Amerika Latin.
BBC | REUTERS | YON DEMA