TEMPO.CO, Jakarta - Lima bulan sudah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Nomor 2270 tentang sanksi kepada Korea Utara. Resolusi tersebut dikeluarkan gara-gara negara yang dipimpin Kim Jong-un itu melakukan uji coba senjata nuklir dan peluncuran rudal balistik.
Selama lima bulan, sedikitnya 42 dari 193 negara anggota PBB telah melaporkan penerapan sanksi yang dikeluarkan terhadap Korea Utara. Dan, sesuai dengan Pasal 25 Piagam PBB, setiap resolusi Dewan Keamanan PBB bersifat mengikat secara hukum bagi semua anggotanya. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri Andy Rachmianto menyatakan, begitu Resolusi 2270 terbit, Kementerian Luar Negeri segera memberitahukan resolusi itu secara tertulis kepada lembaga terkait, seperti Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal Imigrasi, dan Bea Cukai.
“Kami mengundang mereka, instansi terkait, dan menjelaskan sanksi Dewan Keamanan PBB. Instansi terkait melakukan pengawasan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing,” ujar Andy kepada Tempo, Senin lalu.
Sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Korea Utara meliputi empat aspek. Pertama, larangan perjalanan (travel bans) terhadap 16 pejabat Korea Utara yang terlibat dalam pengembangan senjata nuklir. Kedua, embargo senjata. Ketiga, pembekuan aset milik 16 pejabat Korea Utara dan 31 perusahaan Korea Utara. Keempat, inspeksi terhadap kargo berbendera Korea Utara.
Menurut Andy, kecuali BI, instansi yang ada tidak dapat menerapkan sanksi karena belum ada landasan hukumnya. Adapun BI sudah memiliki peraturan berupa pemberitahuan kepada semua bank agar meningkatkan kewaspadaan (due diligence) terhadap transaksi perbankan bagi 16 pejabat dan 31 perusahaan Korea Utara.
Indonesia menilai belum diperlukan payung hukum untuk penerapan sanksi terbaru PBB terhadap Korea Utara. Indonesia lebih memilih menyampaikan secara terbuka ketidaksukaannya setiap kali Korea Utara melakukan uji coba nuklir ataupun rudal balistik. Dalam forum Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia juga mengingatkan Korea Utara dan anggota GNB agar mencari solusi damai.
Indonesia tak khawatir akan jeratan Pasal 25 Piagam PBB. Sebab, pasal tersebut dinilai bersifat anomali dalam penerapannya. Andy membandingkan dengan masalah Palestina, yang menghasilkan sekian banyak resolusi. “Lalu, apa ada yang dilaksanakan?” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Cho Tai-young, saat berkunjung ke kantor Tempo pada 9 Agustus lalu, menilai Indonesia perlu lebih tegas lagi terhadap Korea Utara.
Namun, menurut Andy, Indonesia bersikap tidak mau memihak ke salah satu negara dalam konflik di Semenanjung Korea. Andy justru balik mempertanyakan motif latihan militer Amerika Serikat dan Korea Selatan di Semenanjung Korea. “Ini pastinya membuat Korea Utara bertanya-tanya, untuk apa latihan militer ini?”
Relasi Indonesia-Korea Utara sebenarnya tidak sepenuhnya menguntungkan Indonesia. Misalnya, dalam perdagangan, volume perdagangan Indonesia turun drastis dari US$ 62,5 juta (Rp 812 miliar) pada 2012 menjadi US$ 2,4 juta (Rp 31 miliar) pada 2015.
Namun Indonesia memilih tetap berteman baik dengan negara paling terisolasi di dunia tersebut. “Indonesia harus menempatkan secara berimbang antara kepentingan nasional dan kewajiban internasionalnya,” kata Andy.
NK NEWS | KOREA TIMES | MARIA RITA