TEMPO.CO, Den Haag- Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda membuat gebrakan saat menuntut terpidana milisi ISIS Ahmad al-Faqi al-Mahdi agar dihukum sebagai penjahat perang.
Ahmad didakwa jaksa melakukan pengrusakan terhadap situs bersejarah di Timbuktu, kota yang dulunya pusat perdagangan di Afrika Barat. Ahmad merusak hingga hancur 2 dari 16 situs sejarah berupa makam dan sebuah masjid warisan abad 14 saat ISIS menyerbu kota itu tahun 2012.
Pada Maret lalu, jaksa ICC mendakwa Ahmad __ kelahiran tahun 1975 di Agoune, 100 kilometer dari Timbuktu, Mali__dengan pasal kejahatan perang dengan sengaja menyerang monumen bersejarah dan bangunan agama yang dilindungi oleh UNESCO, badan PBB untuk pendidikan dan budaya.
"Serangan sengaja terhadap bangunan budaya sesungguhnya merupakan senjata perang," kata jaksa ICC Fatou Bensouda saat membacakan dakwaannya hari Senin, 22 Agustus 2016 seperti dikutip dari Huffington Post.
Jaksa Fatou mendasarkan dakwaannya pada Statuta Roma tahun 1998 yang dibuat oleh ICC. Perkara yang menjerat milisi ISIS ini merupakan perkara pertama di ICC dengan terpidana dijerat pasal kejahatan perang.
Timbuktu merupakan kota yang berisikan bangunan sejarah berusia lebih dari 1.000 tahun lalu. Terletak di kawasan timur Mali, Timbuku dulunya pusat perdagangan dan pusat pendidikan Islam pada abad 15 dan 16. Penulis Barat dari DH Lawrence hingga Agatha Christie menggambarkan kota ini sebagai negeri misterius dan kaya. UNESCO mengumumkan Timbuktu sebagai warisan dunia tahun 1980-an.
Apakah hakim ICC memutuskan Ahmad sesuai tuntutan jaksa? Sidang yang akan dibuka seminggu lagi akan memberikan jawaban. Jika terbukti bersalah, Ahmad bisa dijatuhi hukuman 30 tahun penjara. Di pengadilan terdahulu, Ahmad sudah menyatakan permohonan maaf atas pengrusakan situs bersejarah dunia itu.
Sebagai gambaran, lebih dari 30 terpidana yang dibawa ke ICC, hanya tiga terpidana yang telah terbukti bersalah sebagai penjahat perang yakni Thomas Lubanga Dyilo, Germain Katanga, dan baru-baru ini Jean-Pierre Bemba Gombo. Mereka ini mantan politisi dan pemimpin pemberontak Republik Demokratik Kongo.
Selain itu, rekam jejak ICC lewat putusannya beberapa kali tidak konsisten telah memunculkan tudingan bahwa otoritas pengadilan yang terbatas membuat putusan ICC tidak efektif.
HUFFINGTON POST | MARIA RITA