TEMPO.CO, Jakarta - Lebih dari 2.000 insiden kekerasan terjadi di sebuah penjara Australia terhadap pencari suaka di Nauru. Berdasarkan laporan Guardian, separuh korban kekerasan adalah anak-anak. Dalam bocoran dokumen yang dipublikasikan Guardian Australia secara rinci, Rabu, 10 Agustus 2016, anak-anak korban pelecehan di Nauru mengalami trauma.
Aturan penjara yang superketat dan kebijakan imigrasi Australia terhadap imigran banyak dikritik Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok pegiat hak asasi manusia. Negara Kanguru itu mencegat pencari suaka di laut serta mengirim mereka ke Nauru dan penjara lain di Pulau Manus, Papua Nugini. "Mereka tidak akan pernah bisa menetap di Australia," seperti ditulis Al Jazeera, Rabu, 10 Agustus 2016.
Imigran yang mencari suaka ke Australia berjumlah lebih kecil dibanding pengungsi yang pergi ke Eropa. Namun persoalan imigran itu menjadi masalah dalam negeri yang memiliki dukungan politik bipartisan. Australia mengatakan sedang mengkonfirmasi bahwa semua laporan telah ditangani polisi Nauru.
UNHCR meminta Australia melepaskan semua pengungsi dan pencari suaka dari penjara. "Meskipun UNHCR tidak dapat memverifikasi insiden orang per orang dalam laporan itu, dokumen yang dirilis secara luas memunculkan kekhawatiran UNHCR atas kesehatan mental, serta kondisi keseluruhan pengungsi dan pencari suaka di Nauru."
"Sangat penting untuk dicatat bahwa banyaknya laporan atas kejadian ini mencerminkan tuduhan yang belum dikonfirmasi," kata juru bicara Departemen Imigrasi Australia.
Insiden yang dilaporkan Guardian terjadi pada periode antara Agustus 2013 dan Oktober 2015. Sebanyak 20 persen dari sekitar 500 tahanan ditahan di Nauru. Sementara itu, ada 59 laporan kekerasan pada anak-anak pada periode tersebut. Tujuh di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Kelompok hak asasi manusia mendesak pemerintah Australia mengakhiri kebijakan penahanan lepas pantai Australia. Pemerintah Australia menyatakan perlunya dukungan medis dan psikologis kepada pencari suaka. "Hal ini jelas dari dokumen-dokumen dan penelitian kami sendiri, bahwa banyak kekerasan fisik atau mental yang mereka alami di Nauru," kata Anna Neistat, Direktur Senior untuk Penelitian Amnesty International.
Human Rights Watch dan Amnesty International menyelidiki kasus Nauru pada Agustus. Temuan mereka tersedia secara online. Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Koordinator Amnesty International Australia, Graham Thom, mengatakan, "Kita perlu mendesak Royal Commission melihat pelanggaran yang terjadi di Nauru. Mereka (para pengungsi dan pencari suaka) harus segera dibawa kembali ke Australia."
AL JEZEERA | ARKHELAUS W