TEMPO.CO, BANGKOK — Rakyat Thailand mendatangi tempat pemungutan suara dalam referendum konstitusi baru Ahad 7 Agustus 2016. Konstitusi baru itu dirancang oleh sebuah komite yang dibentuk oleh junta militer. Referendum dimaksudkan untuk mengetahui, apakah masyarakat Thailand setuju atau tidak dengan rancangan konstitusi baru tersebut.
Diperkirakan sebanyak 40 juta warga Thailand akan berpartisipasi dalam referendum ini. Puluhan juta warga Thailand itu bisa memberikan suara di 94 ribu tempat pemungutan suara. Sejumlah kalangan menyebut, referendum ini akan menjadi pertaruhan demokrasi Thailand. Berdasar konstitusi baru, Senat yang ditujunjuk junta militer akan berisi para komandan militer. Mereka berfungsi mengawasi anggota parlemen yang dipilih dalam pemilu 2017 mendatang.
Referendum ini juga menjadi ujian untuk melihat popularitas Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, yang selama dua tahun terakhir menindas aktivitas politik sejak melakukan kudeta terhadap PM Yingluck Shinawatrapada pada 2014.
“Saya mengajak semua warga untuk datang dan memilih demi masa depan negara,” kata Prayuth kepada wartawan di tempat pemungutan suara di barat laut Bangkok, seperti dikutip Reuters.
Ia kemudian disela oleh seorang perempuan. “Apakah Anda dapat mengelola negara? Apakah Anda sanggup menjaga negara,” tanya sang perempuan sebelum diusir oleh polisi.
Sekitar 200 ribu polisi dikerahkan untuk mengawal jalannya referendum. Meski partai-partai politik terbesar di Thailand menolak referendum konstitusi menjelang pemungutan suara, tetapi tidak ada tanda-tanda protes menjelang gelaran referendum.
Yingluck, yang dilarang terlibat politik selama lima tahun sejak Januari 2015, juga memilih dalam pemungutan suara. “Saya gembira masih dapat melakukan hak saya sebagai warga negara,” ujar Yingluck. Ia pun mengimbau warga Thailand untyuk datang dan memilih demi keberlangsungan demokrasi.
Di Kota Khon Kaen, sekitar 50 pemilik suara mengantre di luar Balai Kota yang sempat hancur dalam kerusuhan pada 2010. “Saya memilih ‘Ya’ agar negeri ini lebih baik,” tutur Thongyoon Khaenkhaomeng, warga yang bekerja sebagai petani. Sedangkan Decha Shangkamanee yang bekerja sebagai buruh harian menolak konstitusi baru karena membenci pemerintahan junta. “Tapi apa pun hasilnya, tidak aka nada perubahan.”
AP | REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI